Thursday, September 29, 2016

Kota Tua Padang Kisah Lampau dari Hangatnya Keberagaman dan Harapan

Kota Tua Padang


Bercerita kota tua, maka akan bercerita masa lampau. Menjelajah kota tua, maka akan melihat jejak kehidupan tempo dulu. Hampir tiap kota di Indonesia memiliki kawasan kota tua dengan kisahnya tersendiri, baik kondisinya masih terjaga atau terbengkali begitu saja.

Kota tua dalam perkembangannya didedikasikan menjadi destinasi wisata yang dapat menarik perhatian para pelancong. Nilai histori yang terbenam dalam bangunan-bangunan tua ini menjadi magnet utama bagi penikmat kisah masa lampau.  

Banyak hal yang dapat dilakukan di kota tua, baik untuk belajar mengenal sejarah dan perkembangan kota, arsitektur bangunan tempo dulu dan kehidupan sosial budaya yang masih apik dijaga turun temurun hingga untuk jalan-jalan melepas lelah setelah seharian beraktivitas atau sekedar menjadi tempat hunting foto.

Penataan dan revitalisasi menjadi nadi dalam memanfaatkan kota tua sebagai objek wisata yang bernilai tinggi. Kaya akan nilai sejarah, budaya hingga kearifan lokal yang terbenam di dalamnya. Semisalnya, kawasan Kota Tua Jakarta yang dikenal dengan Batavia ini yang dulu menjadi pusat pelabuhan dan perdagangan yang jaya di zamannya dan kini menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik dikunjungi oleh pengunjung.

Begitu juga di Bandung, banyak bangunan kolonial yang masih terjaga dan berdiri kokoh mengikut perkembangan kota yang dipercantik untuk bertahan dalam menggempur kemajuan zaman high tech ini.  Di Jalan Braga misalnya, berjejer bangunan tua yang suasananya seperti di eropa.

Hikayat Kota Padang: Padang dari Pelabuhan Muaro

Kota Tua Padang
Suasana sungai Batang Arau yang merupakan Pelabuhan Muaro (2016 | Koleksi Pribadi).
Tidak hanya Jakarta, Bandung atau kota besar lainnya, Kota Padang juga memiliki kawasan kota tua yang dikenal dengan Kota Tua Padang atau Padang Lama. Bila ditarik ulur cerita hadirnya Kota Tua Padang, maka tidak lepas dari keberadaan Pelabuhan Muaro yang merupakan cikal bakal dari keberadaan Kota Padang saat ini. Pelabuhan ini yang berada di dekat muara sungai Batang Arau yang menghadap langsung Samudera Hindia.

Dari cerita tambo, kawasan kota ini dahulunya merupakan salah satu kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan sungai Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Pebayan yang masuk kedalam wilayah kerajaan Pagaruyung.

Nama Padang sendiri ada yang mengartikan sebagai terang. Ada juga yang menyebutkan dulu di kawasan ini terdapat pedang atau tanah lapang sehingga disebut Padang. Namun, belum ada kajian yang mendalam dan data yang pasti mengenai asal muasal nama Kota Padang ini.

Kota Padang pada mulanya sebuah kampung yang bernama Kampung Batuang dan terletak di tepi kiri Batang Arau yang sekarang bernama Seberang Padang. Kampung ini menurut catatan Belanda pada mulanya dihuni oleh nelayan pembuat garam dan peniaga yang datang dalam perdalaman Minangkabau (Falah dkk, 2007).

Menurut ceritanya juga perkampungan nelayan ini dulunya didiami oleh orang Rupit dan orang Tirau yang merupakan kelompok manusia yang masih hidup bebas di alam. Sebelum masyarakat pedalaman Minangkabau turun dari Solok dan Agam ke pantai, Kota Padang hanya sebuah kawasan dataran rendah dengan hutan yang masih lebat.

Pendapat ini diperkuat oleh adanya bukti pendirian masjid yang pertama di daerah Seberang Padang. Masjid ini dapat dikatakan cikal bakal dari Masjid Gantiang sebelum dipindahkan ke daerah Ganting (Sofwan dkk, 1987).

Kota Tua Padang
Peta perkembangan Kota Tua Padang (sumber: gempapadang.wordpress.com)
Dalam catatan sejarah juga diceritakan telah silih berganti para pedagang dari belahan dunia menepikan kapalnya di Pelabuhan Muaro, Kota Padang. Mulai dari pedagang asal Aceh, Arab, Gujarat (India), Tiangkok, Portugis, Spanyol, Perancis, Inggris, hingga Belanda. Terutama ketika arus perdagangan berpindah ke pantai barat Sumatra dan konflik di selat Malaka.

Perkembangan Kota Padang menjadi bandar dagang dimulai pada pertengahan abad ke-14 berdasarkaan kebijakan penguasa Pagaruyung masa itu yang menyatakan pemutusan hubungan dagang dengan kawasan timur pulau Sumatra dan beralih ke kawasan pesisir Sumatra Barat (Asnan, 1992:13-14).

Menurut Colombijn (2006) Terbentuknya Padang dan berkembang sebagai salah satu kota yang memiliki aktivitas perdagangan pada daerah pesisir barat tidak terlepas dari faktor penaklukan portugis terhadap malaka pada tahun 1551, para pedagang asia merubah jalur perdagangan ke selat sunda dan pesisir barat Sumatera, salah satu port tersebut terdapat di wilayah Sumatra Barat saat ini yaitu di Kota Padang, pelabuhan berfungsi sebagai tempat transit untuk emas dari dataran tinggi dan lada dari daerah pesisir.

Sejak abad ke-15 hingga awal abad ke-16, Kota Padang berada dalam kedaulatan Kerajaan Aceh dan hanya menjadi daerah perkampungan nelayan saja. Kerajaan Aceh menempatkan panglima raja mereka di Padang, namun fungsinya lebih sebagai wakil dagang daripada wakil politik. 


Kota Tua Padang
Gedung-gedung di tepian sungai Batang Arau yang merupakan Pelabuhan Muaro sekitar tahun 1890-1930 (sumber: Tropem Museum)
Namun, menyusul ketika kedatangan pedagang Belanda bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663. Kerajaan Aceh perlahan-lahan disingkirkan setelah VOC pada tahun 1666 menjadikan Kota Padang sebagai markas besarnya untuk kawasan pantai barat Sumatra (Sumatra's Westkust).

Kawasan Kota Padang muncul karena kebutuhan VOC akan wilayah transit untuk barang yang diperdagangkan, baik yang dilakukan dengan Minangkabau atau perdagangan dengan daerah lainnya seperti Batavia serta Ceylon. Selain itu VOC merancang Kota Padang menjadi ibukota Sumatera sebagai wilayah pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi perdagangan, hal itu karena wilayah Padang memiliki lokasi yang strategis secara geografis (Mansoer:1970).

VOC tertarik untuk membuat pelabuhan di kawasan Muaro Sungai Batang Arau, Kota Padang, karena memiliki muara yang luas dan bagus untuk bersandar kapal-kapal dagang. Pada tahun l660, VOC berhasil secara halus memaksakan kehendaknya lewat perjanjian dengan raja-raja muda tersebut untuk mengusir Aceh dari Muaro Padang yang mulai lemah sejak kematian Sultan Iskandar Muda.

Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan kantor dagang dan gudang (loji) pertama sekaligus tangksi pada tahun 1667 di Kota Padang. Kala itu Jacob Jorisz ditunjuk sebagai komandan dari 110 pegawai VOC di Kota Padang termasuk 40 sampai 50 orang tentara. 

Seiring berjalannya waktu, Kota Padang berkembang menjadi pusat perdagangan terpenting dengan ditujuk sebagai ibu kota pada 1668. Saat itu, lalu lintas perdagang semakin ramai dan berkembang pesat sehingga sekitaran wilayah ini tumbuh menjadi pusat pemukiman baru yang homogen dan padat di pesisir pantai barat Sumatra. Selanjutnya VOC membuat daerah pemisah antara pemukiman mereka dengan rakyat. Belanda menempati Muara bertetangga dengan suku Tiongkoa, kemudian etnis India Tamil, baru terakhir penduduk asli Minangkabau.

Kota Tua Padang
Pelabuhan Muaro sekitar 1900-1940 (sumber: Tropem Museum)
Terdapat catatan penting pada 7 Agustus 1669, hari itu terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah untuk melawan monopli VOC dengan membakar loji di kawasan Pelabuhan Muaro. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Padang.

Komoditas utama yang diperjual belikan meliputi barang tambang seperti emas dan batu bara, hasil perkebunan seperti teh, kopi dan rempah-rempah seperti merica, garam, kapur barus, kemenyan. Hal ini membuat banyak pedagang dari Tiongkok, Arab, India, hingga VOC memusatkan kegiatan bisnisnya dengan membuat kantor, pemukiman, rumah sakit, tempat ibadah, pasar, taman kota hingga membuat loji dan benteng di kawasan Pelabuhan Muaro pada 1670.

Pada awalnya tumbuh pusat aktivitas di sekitar benteng VOC dan pasar pribumi (Pasar Gadang) sebagai embrio Kota Padang, pada tahun 1781 benteng VOC dibongkar oleh Inggris. Saat ini di sekitar bekas benteng VOC di tepi sungai Batang Arau merupakan pusat kota lama dengan bangunan berarsitektur kolonial.

Pada 8 Agustus 1781 terjadi perang antar negara Belanda dan Inggris yang mengakibatkan diserahkan Kota Padang kepada Inggris dengan cuma-cuma. Tetapi tiga tahun kemudian 20 Mei 1784 Inggris menyerahkan kembali Kota Padang ke tangan Belanda dan menjadikan Kota Padang sebagai ibukota dan pusat perdagangan. Pada tahun-tahun ini perdagangan Belanda tidak terlalu maju karena menghadapi perlawanan dari pribumi.

Dalam rentetan sejarah selanjutnya walaupun tidak mudah, Belanda berhasil menguasai daerah ini melalui politik devide et impera–nya (adu domba) terhadap raja raja muda tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1784 Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Kemudian Kota Padang semakin berkembang setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, pabrik Semen di Padang, Tambang Batu Bara di Sawahlunto, dan dibangunnya jaringan kereta api hampir di seluruh wilayah Sumatra Barat yang dikenal dengan proyek Tiga Serangkai-nya Belanda.

Ada yang menarik, pada 17 Desember 1793 muncul di Kota Padang, kapten bajak laut berkebangsaan Perancis yaitu Kaptern Le Mome. Selama 16 hari lamanya mereka membuat seenaknya kemudian pergi setelah mengosongkan isi kas dan gudang Belanda dan tak lupa juga merampas harta penduduk pribumi. Kala itu, tidak ada perlawanan dari Belanda.

Kemudian pada tahun 1795 negeri Belanda ditaklukan oleh Perancis. Akibatnya hal ini terpaksa Belanda menyerahkan daerah jajahannya termasuk Kota Padang ke Inggris hingga 1819. Lambat laun Belanda melalui VOC yang kemudian setelah bubar pada 31 Desember 1799 diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Padang sebagai daerah jajahannya dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen. Kemudian beralih dari kota pangkalan militer menjadi pusat perdagangan di Sumatra Barat.

Pada 1 Maret 1906 lahir Ordonasi yang menetapkan Kota Padang sebagai Cremente (STAL1906 No 151) yang mulai berlaku 1 April 1941. Gemeente adalah istilah dalam bahasa Belanda dan merupakan pembagian administrasi pemerintahan. Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan Kotamadya yang dipimpin oleh Burgemeester (Walikota).


Pada era pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-18 dan awal ke-19, Kota Padang berkembang menjadi kota metropolitan terbesar di seluruh pulau Sumatra. Tempo itu, akivitas perdagangan langsung dengan bangsa-bangsa asing sangat tinggi di Pelabuhan Muaro.

Bahkan Kota Padang menjadi pusat kekuatan militer pemerintah Hindia Belanda terutama selama berlangsungnya perang Aceh yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan atau tempat merawat tentara yang sakit dan cidera. Oleh karena itu, di sekitar pelabuhan Muaro terdapat banyak bangunan baik gedung pemerintahan, militer, rumah sakit, kantor dagang dan lainnya.

Batang Arau yang akhirnya disebut pelabuhan Muaro sampai abad ke-19 masih berperan sebagai pintu transit baik ke dalam maupun ke luar Kota Padang dan sekitarnya. Sampai sekarang kapal yang sering singgah adalah kapal dengan tujuan ke Kabupaten Kepulauan Mentawai dan kapal-kapal dengan tujuan pulau lainnya.

Kota Padang pada awalnya sebuah perkampungan nelayan dan merupakan dareah rantau di Minangkabau. Kemudian dalam perkembangannya menjadi kota yang sangat penting di masa lampau. Pembangunan sarana dan prasaranannya sangat terlihat. Dulu kawasan ini berupa hutan dan rawa perlahan berubah menjadi suatu kota yang memiliki banyak bangunan, jalan representatif, taman kota, jalur kereta api hingga dibukanya pelabuhan Teluk Bayur atau Emma Haven pada 1888-1895.

Tidak heran bila keberadaan pelabuhan Muaro menjadi saksi sejarah tersendiri bagi perkembangan Kota Padang yang pernah menjadi pusat perdagangan, pertahanan militer hingga kota metropolitan yang sangat berpengaruh dan penting di pulau Sumatra. Inilah sepenggal hikayat lama dari Kota Padang tempo dulu.


Jelajah Kota Tua Padang.

Kota Tua Padang
Gedung Weekend Cafe  (2016 | Koleksi Pribadi)
Nuansa nostagia akan terasa bila menjelajah Kota Tua Padang. Jejak kejayaan tempo dulu masih bisa temui dengan mulai menelurusi sepanjangan Muaro, Batang Arau, Pasa Gadang (Pasar Hilir), Pasa Mudik, dan Pasa Tanah Kongsi  hingga kawasan Pondok. Kemudian di kawasan Gunuang Padang, Gantiang dan Jalan Surdiman.

Dari sini terlihat berjejer puluhan bangunan tua  dan bekas kantor pemerintahan, perbankan, serta kantor dagang peninggalan VOC. Bangunan tersebut yang masih tegak berdiri meski keberadaannya butuh perhatian yang serius dari berbagai kalangan.

Saat ini, Kota Padang telah bergabung ke dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Setidaknya terdapat 74  bangunan cagar budaya di Kota Padang berdasarkan SK Walikota Padang Nomor 03 Tahun 1998. Namun, bangunan yang terbanyak tersebut tersebar di empat kecamatan yang meliputi Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Padang Selatan dan Kecamatan Lubuk Begalung.

Bila dilakukan pendataan kembali kemungkinan akan lebih banyak lagi yang masuk katagori bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan undang-undang yakni UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebagai wujud pelestarian bangunan pusaka.

Seiring dengan berjalannya waktu Kota Tua Padang kian tua, rapuh dan tidak terurus. Apalagi pasca gempa 30 September 2009 lalu, banyak bangunan yang rusak parah dan hancur ditambah lagi ditinggal oleh penghuninnya sehingga kawasan ini seperti kota mati. Sudah banyak pemberitaan yang menyebutkan Kota tua Padang akan dilakukan revitalisasi.

Secercah harapan itu kembali muncul, ketika rencana penetapan Kawasan Wisata Terpadu Gunuang Padang yang terdiri dari kawasan Pantai Padang, Pelabuhan Muaro, Kota Tua Padang, Gunuang Padang sampai ke Pantai Air Manis.

Secara berangsur beberapa kawasan tersebut mulai  dibenah dan dipercantik, namun untuk Kota Tua Padang sepertinya masih dalam proses dan direncanakan menjadi kawasan pusat kuliner dan heritage yang berbalut keanekaragaman etnis dan budaya yang ada.

Baca: Jelajah Kota Tua Padang Bersama Padang Heritage

Puluhan Bangunan Eksotik di Jalan Batang Arau, Nasibnya Memperihatinkan, uh!


Kota Tua Padang
Banguan tua di sepanjang jalan Batang Arau (sumber: padangschebovenlanden01.blogspot.co.id)
Mari mulai penjelajahan dengan menyusuri jalan Muaro tidak begitu banyak bangunan tua hanya saja penjara yang tersisa. Kemudian dilanjutkan menuju jalan Batang Arau yang berada disepanjang kiri sungai Batang Arau yang melegenda ini. Jika dimulai dari jalan Batang Arau akan terdapat puluhan banguanan tua yang masih bisa ditemui dan cukup mencolok di antara banguan lainnya.

Gedung Kantor Detasemen TNI AD


Kota Tua Padang
Gedung Kantor Detasemen TNI AD (2017 | Koleksi Pribadi) 
Misalnya saja gedung ini merupakan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda yang dulunya digunakan sebagai kantor, rumah tinggal dan gudang. Terdiri dari 3 bangunan. Dua bangunan terletak persis di tepi jalan dan satunya berada dibelakang gedung kantor ini. Gedung ini beralamat di Jalan Batang Arau No. 76 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.

Kemungkinan bangunan ini dibuat sekitar akhir abad ke-19. Saat ini gedung ini berada di kompleks Detasemen Pembekalan dan Angkatan 1-44-05 TNI AD. Namun, sayangnya gedung yang digunakan sebagai kantor ini mengalami kerusakan parah akibat gempa 30 September 2009 lalu. Padahal gedung Kantor Detasemen TNI AD merupakan cagar budaya Kota Padang dengan nomor inventaris 29/BCB-TB/A/01/2007.

Arsitektur bangunan ini terlihat jelas bergaya kolonial dengan jendela dan pintu yang tinggi. Terdapat kaca bermotif di bagian depan bangunan. Kemudian mengadopsi gaya bangunan lokal terlihat dari atapnya.

Gedung Eks PT. Surya Sakti.
Kota Tua Padang
Gedung Eks. PT. Surya Sakti (2017 | Koleksi Pribadi)
Bersebelahan dengan gedung Kantor Detasemen TNI AD terdapat satu bangunan yang merupakan salah satu gedung yang memiliki arsitektur kolonial bergaya art deco. Terlihat jelas dari bentuk pintu, jendela dan dinding depannya. Gedung ini beralamat di Jalan Batang Arau No. 72 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.

Gedung ini sudah ditetapakan sebagai cagar budaya Kota Padang dengan nomor inventaris 40/BCB-TB/A/01/2007. Tidak ada literatur detail yang menceritakan gedung ini. Kemungkinan gedung ini dibangun sekitar akhir abad ke-19 yang memiliki panjang 18 meter dan lebar 12 meter. Sepertinya, dulu digunakan sebagai kantor dan gudang saat pemerintahan Hindia Belanda. Sekitar tahun 1950-an bangunan ini dimiliki oleh PT. Surya Sakti kemudian dibeli oleh Dr. T.D Pardede. Sekarang digunakan menjadi gereja.

Kerambia Cafe.

Kota Tua Padang
Gedung Karambia Cafe (2017 | Koleksi Pribadi) 
Kemudian gedung tua yang saat ini menjadi cafe. Nah, untuk gedung yang satu ini sedang hitsnya di Kota Padang, sebab setelah direnovasi digunakan menjadi tempat hangout dan kafe. Gedung ini dulunya merupakan gudang miliki PT. Pataka Karya S dan PT Amindo Corp yang beralamat Jalan. Batang Arau No.70 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.

Pada dinding pintu depan kiri kanan terdapat inskripsi yang menerangkan bangunan ini dibangun oleh Bouwk Bureau (biro) bernama sitsen en Lauzada. Dibangun tahun 1933 seperti tulisan inskripsi, De Eeerste Steen Geleid op 14 Augustus 1933 door Tilly Hazevoet. Yang menarik dari bangunan ini yaitu dibagian depan kiri kanan, terdapat beberapa cerukan yang berfungsi sebagai parkirnya sepeda atau kereta angin.

Gedung ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dengan nomor inventaris 39/BCB-TB/A/01/2007. Memiliki gaya arsitektur art deco dibuktikan dengan tampilan bagian depan yang didominasi pola lengkung yang dibatasi oleh garis horizontal. Bangunan ini memiliki panjang 18 meter dan lebar 12 meter.

Atapnya berbentuk datat seperti piramida terpancung yang bertumpuk dua. Jendela terdapat di sekeliling dinding yang berjumlah 10 buah. Masing-masing tiga buah di samping kiri dan empat buah di dinding bagian depan. Jendela berukuran tinggi dan lebar, terbuat dari kaca yang diberi jeruji besi. Pintu masuk berada dibagian tengah dengan bagian bangunan agak menjorok ke depan.

Kemungkinan pasca gempa 30 September 2009 gedung ini tidak digunakan akibat terjadinya banyak kerusakan, kemudian di awal tahun 2016 bisa saja dibeli oleh pemilik kafe yang bernama Kerambia Cafe. Setidaknya gedung ini terbilang beruntung dibandingkan dengan bangunan bersejarah lainnya yang  masih terjaga.

Tidak ada yang berubah dari bentuk bangunannya yang bergaya arsistektur Belanda ini, ditambah lagi dengan interior yang berbahan kayu berwarna kecokalatan menambah nuansa klasik. Namun, moderen dan kekinian. Karena namanya kerambia (kelapa), maka hampir semua interiornya baik kuris meja dan mangkuknya berbahan dari batang pohon kelapa. Unik dan bisa mempertahankan nuansa tempo dulu. Saya suka dengan suasananya.

Tidak heran bila petang petang tiba sekitaran kawasan ini akan ramai dan dipadati oleh kendaraan pengunjung, terutama ketika akhir pekan tiba. Selain untuk berfoto-foto dan menikmati hidangan khas cafe ini, tentunya bisa menjadi salah satu rekomendasi untuk tempat berkumpul dan berdiskusi dengan kawan sejawat atau rekan kerja. Ada live musiknya juga loh.

Gedung Bank Indonesia Muaro Padang.

Kota Tua Padang
Gedung Museum Bank Indoensia (2016 | Koleksi Pribadi) 
Usai dari Kerambia Cafe kita akan melewati SPBU Muaro dan beberapa meter kemudian akan bertemu dengan persimpangan jalan. Bila lurus lanjut menuju jalan Batang Arau bila belok ke kiri akan menuju jalan Nipah. Persis di simpang jalan tersebut dekat dengan Jembatan Siti Nurbaya terdapat bangunan bergaya arsistektur Belanda dan beratapkan limas menjulang tinggi hampir sejajajar dengan Jembatan Siti Nurbaya.

Gedung Museum Bank Indonesia Padang namanya. Berada di jalan Batang Arau No. 60 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Dulu gedung ini bernama De Javasche Bank dan eks Gedung Bank Indonesia Padang yang didirikan pada tahun 1830 dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dengan nomor inventaris 38/BCB-TB/A/01/2007.

Gedung De Javasche Bank ini merupakan gedung perbankan cabang yang ketiga setelah Surabaya dan Semarang dan pertama di luar jawa. Selain Padang De Javasche Bank tersebar di 12 kota penting Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Gedung ini dibuka pertama kali pada 29 Agustus 1864 dengan direktur pertamanya bernama A.W Verkouteren.

Sekarang bangunan ini oleh pihak Bank Indonesia Cabang Padang dijadikan sebagai museum dan kantor Bank Indonesia Cabang Padang pindah ke Jalan Sudirman, Padang.

Cerita selengkapnya mengenai Bank Indonesia Muaro atau De Javasche Padang dapat dilihat di sini.

Gedung Geo Wehry and Co

Gedung Geo Wehry and Co (2016 | Koleksi Pribadi)
Tinggalkan gedung Bank Indonesia lanjut menyeberang melewati kolong jembatan Siti Nurbaya maka akan menemukan jejak jalur kereta api di sekitaran jembatan kecil. Dari sana akan terlihat banguan dengan arsistektur Belanda yang sebenarnya keren dan gagah. Itu gedung Geo Wehry and Co yang beralamatkan jalan Batang Arau No. 58 Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang dan berdiri sekitar tahun 1926 yang dirancang oleh Ir. FJL Ghijsels (AIA Bureau).

Tidak ada literatur yang saya temukan mengenai gedung ini. Namun ada sedikit penelasan, Geo Wehry and Co sebagai sebuah perusahaan terkenal, juga memiliki beberapa kantor-kantor lainnya untuk mengurusi keuangan, perdagangan, distribusi dan administrasi perusahaan. Gedungnya yang di Padang merupakan cabang perusahaan yang berpusat di Batavia. 

Sayangnya gedung ini kurang tidak terawat dan saat ini digunakan sebagai gudang oleh PT. Panca Niaga. Di depan gedung ini juga terdapat pedagang kaki lima yang menambah kesan kumuh di bangunan ini. Padahal dari sejumlah bangunan bersejarah yang ada di Kawasan Kota Tua Padang dengan No. 21/BCB-TB/A/01/2007, gedung ini termasuk yang memiliki desain yang keren terutama di zamannya.

Gedung ini bergaya arsitekur neo klasik atau art deco ornamental  dengan luas 24 x 35 m2 dan tinggi 24 meter dengan bangunan penunjang lain di samping kiri dan belakang. Berdinding permanen ini memiliki atap yang berbentuk gambrel dengan dua cerobong pada puncak atap sebagai tempat sirkulasi udara.

Sebelah Geo Wehry and Co yang terdapat juga bangunan bersejarah juga yang digunakan sebagai gudang. Tidak ada data mengenai gedung ini, namun yang jelas bangunan cagar budaya yang pada dinding luarnya terdapat tanda dan tertulis Aset Milik BUMN PT. Perusahaan Dagang Indonesia serupa dengan tulisan yang terpasang di dinding gedung Geo Wehry and Co.

Selanjutnya, melangkah sedikit akan bertemu dengan gedung berwarna biru dan kemungkinan ini merupakan bangunan cagar budaya juga. Kemudian, berjalan menuju gedung yang bernomor 54 ini. gedung ini berlantai dua dan dibangun tahun 1910.

Sekali lagi akibat gempa 30 September 2009 hampir seluruh bagian bagunan ini hancur yang tersisi hanya bagian depannya saja. Gedung ini digunakan sebagai gudang dan merupakan aset milik PT. Perusahaan Dagang Indonesia. 

Cerita lengkapnya  Gedung Geo Wehry and Co dapat dilihat di sini.

Gedung Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (NIEM)

Kota Tua Padang
Gedung Bank Mandiri Muaro (2016 | Koleksi Pribadi)
Ada lagi namanya Gedung Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij atau disingkat NIEM adalah salah satu bank yang beroperasi pada jaman penjajahan Kolonial Hindia Belanda. NIEM ini didirikan tahun 1857-1958 di Batavia. Pada 1949 berubah nama menjadi Escomptobank NV. 

Escomptobank NV menjadi bank terbesar kedua setelah Java Bank (1857) di Batavia. Bank Escompto diambil alih oleh Pemerintah RI. Tahun 1960 nama bank ini diganti menjadi Bank Dagang Negara (BDN) yang kemudian melebur bersama Bank Eksim (Nederlandsche Handel Maatschaplj) dan Bank Bumi Daya (Nederlandse Handels Bank) menjadi Bank Mandiri KCP Padang Muaro hingga sekarang.

Gedung ini beralamat Jalan Batang Arau No.42 Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Memiliki gaya arsitektur kolonial yang dibangun sekitar tahun 1930-an atau kira-kira tahun 1939 dengan panjang 35 meter dan lebar 24 meter. 

Gedung Padangsche Spaarbank

Kota Tua Padang
Gedung Padangsche Spaarbank (2015 | Koleksi Pribadi)
Masih di Jalan Batang Arau, bila mengikuti jalur kendaran kita akan dipaksa belok ke kiri akan menuju Jalan Kelenteng masuk ke kawasan etnis Tiongkoknya Kota Padang, sedangkan bila lurus terus jalan diperboden alias tidak boleh lewat, khusus satu arah. Kecuali bila jalan kaki akan sepuasnya melintas sesuka hati.

Di persimpangan ini akan bertemun dengan bangunan yang keren juga seperti gedung  Geo Wehry and Co yang dekat dengan Jembatan Siti Nurbaya. Gedung ini bernama Padangsche Spaarbank yang berlokasi di Jalan Batang Arau No. 33 Kelurahan Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang ini.  

Padangsche Spaarbank menjadi salah satu dari 74 bangunan yang dijadikan Pemerintah Kota Padang sebagai benda bersejarah yang dilindungi berdasarkan SK No 6/BCB-TB/A/01/2007.  Gedung yang masih berdiri kokoh ini didirikan pada tahun 1908, memiliki dua lantai dan tinggi 35 meter yang berdiri membelakangi Sungai Batang Arau.

Kabarnya, Gedung Padangsche Spaarbank pernah digunakan sebagai Kantor Bank Tabungan Sumatra Barat sebelum direnovasi pada tahun 1992. Sempat juga gedung ini difungsikan untuk menjadi penginapan (homestay) atau sekelas hotel bintang satu dengan nama Hotel Batang Arau sejak tahun 1994.

Sejak tahun 2001- 2009, pasangan Amerika, Chris Scurrah and Christina Fowler mengelola hotel dan restoran ini. Sebelumnya hotel ini dikelola warga Jerman, Norma Duelfer. Setelah Norma kembali ke Jerman, Cristina dan Chris mengambil alih usaha hotel dan restoran.

Chris mengelola bisnis penyewaan kapal travel untuk turis surfing, sementara Christina yang mengelola hotel dan restoran. Dulunya, hotel ini menjadi tempat beristirahat favorit bagi turis asing yang akan surfing ke Mentawai. Gedung ini bergaya neo klasik eropa yang berkembang pada awal abad 20.

Cerita lengkapnya Gedung Padangsche Spaarbank dapat dilihat di sini.

Tengok Kemeriahan Bangunan Tiongkok di Jalan Kelenteng

Kota Tua Padang
Kelenteng See Hien Kiong (2016 | Koleksi Pribadi)
Lain halnya bila berada di jalan Kelenteng. Masih di kawasan Kota Tua Padang yang berlokasi di Kelenteng, Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.  Suasana negeri tirai bambu akan begitu mencolok dengan kehadirian pernak-pernik khas etnik Tiongkok seperti kelenteng, patung hingga aksara Tiongkok tiap rumahnya. Ditambah lagi bila memasuksi hari Imlek, merah merona lampu lampion bergantungan menghiasi jalanan dan bau dupa akan tercium disepanjang jalan ini.

Di sini terdapat beberapa bangunan abad ke-19 yang begitu mencolok terlihat  dan yang terkenal adalah Kelenteng See Hien Kiong. Kelenteng ini dibangun pada 1893-1897 yang berada di jalan Kelenteng No.312. Sayangnya, akibat gempa 30 September 2009 kelenteng ini mengalami banyak kerusakan sehingga tidak lagi digunakan untuk tempat ibadah.

Sebagai gantinya, tahun 2010 kembali dibangun kelenteng baru dilokasi yang berbeda dan tidak jauh kelenteng lama. Mengingat kelenteng lama merupakan cagar budaya, maka kelenteng lama tersebut akan direnovasi dan dijadikan sebagai museum masyarakat Tionghoa Padang. 

Kelenteng See Hien Kiong menjadi lokasi favorit bagi masyarakat Kota Padang untuk dijadikan lokasi berfoto dan tempat nongkorong kaula muda sembari menikmati minuman Kopmil yang cukup terkenal di sini. Asiknya Nongkrong di Kelenteng See Hin Kiong Sembari Seruput Kopmil

Kemudian tidak jauh dari sana ada juga Gedung Himpunan Keluarga Tan No.327 yang berdiri sejak tahun 1888, rumah tinggal Ang Sia No.268 yang dibangun pada tahun 1880. Kemudian terdapat Gedung Himpunan Tjinta Teman No.331 yang juga dibangun tahun 1880 serta rumah tinggal Nio Seng No.339.

Cerita selengkapnya mengenai Kawasan Tiongkok di Kota Tua Padang dapat dilihat di sini

Kota Tua Padang dengan Sejuta Cerita

Kota Tua Padang
Salah satu sudut jalan di Kota Tua Padang (2012 | Koleksi Pribadi)
Bagi saya menjelajah Kota Tua Padang memiliki kesan tersendiri dihati. Banyak hal yang menarik yang akan ditemui dan tentunya tidak cukup sehari saja untuk dapat melancong ke kawasan heritage-nya Kota Padang ini.

Dekat kawasan Kota Tua Padang ini ada Jembatan Siti Nurbaya yang melegenda dan Indahnya Pesona Alam dari Gunung Padang memang tiada duanya membuat kita rindu untuk mengunjunginya bahkan Romantisnya Panorama Malam Kota dari Gunung Padang tak tergantikan. Tentunya Pesona Gunuang Padang Tak Lekang oleh Waktu.

Dengan berkeliling Kota Tua Padang kita dapat menemukan hal-hal yang menarik seperti belajar sejarah Kota Padang sembari olahraga dengan ngegoes sepedah, mengenal arsitketur bangunan tempo dulu, mencari spot hunting foto untuk menangkap sudut-sudut eksotisme Kota Padang tempo dulu. Biasanya dengan gaya ala urbex, street atau vintage. Ada juga yang menjadikan latar untuk foto prawedding.

Coba saja menjelajah di seputaran jalan Batang Arau dan kawasan Kelenteng. Saya telah berkali-kali menelusuri Kota Tua Padang baik berjalan sendiri atau bersama teman-temen. Tidak pernah bosan dan selalu ada saja hal-hal menarik yang ditemui.

Biasanya banyak yang memotret Kelenteng See Hien Kiong dan Gapura Rumah Duka HBT atau bila ingin sedikit berjalan akan bertemu sebuah gang yang penuh dengan karya grafiti dan mural di sisi bangunannya. Saya sebutnya Tembok Bergambar di Kota Tua PadangMemang Kota Tua Padang itu bisa menjadi referensi tempat berfoto dan selalu memiliki cerita yang menarik untuk dijelajahi. Atau bila ingin menjelajah Kota Tua Padang bisa menghubungi Komunitas Padang Heritage dan mengikuti kegiatan  Padang Heritage Walk.

Masih ada tiga hal menarik di Kota Tua Padang yang perlu jelajah dan belum saya tulis yaitu Stasiun Kereta Pulau Air, keunikan jembatan evakuasi yang membentang di atas Sungai Batang Arau, dan kawasan yang dulunya pasar, kini hanya tinggal namanya saja, mulai dari Pasa Gadang (Pasar Hilir), Pasa Mudik, dan Pasa Tanah Kongsi. Itu semua menjadi serpihan dari narasi kota yang berserakan dan harus saya kumpulkan satu per satu.

***

Kota Tua Padang menjadi sebuah kisah lampau dari perjalanan panjang perkembangan kota dari hangatnya keberagaman disetiap sudutnya dan harapan akan perubahan untuk menjadi lebih cantik lagi dikemudian harinya. Ke Kota Padang memang perlu disempatkan melihat hikayat lama negeri buah bengkuang di Kota Tua Padang.

Peta Kawasan Kota Tua Padang:


Referensi:
1. Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau (2013). Cagar Budaya Kawasan Batang Arau Kota Lama Padang
2. Bappeda Kota Padang (2016). Sejarah Singkat Kota Padang. Artikel Internet diakses September 2016.
3. Colombijn, Freek (2006). Paco-Paco (Kota) Padang, Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, Pengantar Eko Alvarez, Yogyakarta: Ombak.
4. Falah, dkk (2007). Menyikap Riwayat dan Pesona Kota Padang yang Tersisia. Sumatera Barat: Dinas Seni dan Budaya.
5. Marshaleh Adaz S.Sos (2016). Bandar Lama dan Nasib Mu Padang Koe. Artikel Internet dari blog mradaz.blogspot.co.id diakses September 2016.
6. Rifki Firdaus (2010). Perkembangan Kota Padang 1870-1945. Skipsi. Depok: Universitas Indoensia.
7. Rusli Amran (1986). Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Offset.
8. Sofwan, Mardanas. dkk (1987). Sejarah Kota Padang. Padang.
9. Unesco (2010). Assessment Report and Recommendations for Action Plan for the Rehabilitation of Earthquake-affected Cultural Heritage in West Sumatra.

————————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

31 comments:

  1. DUA JEMPOL untuk riset yang membangun artikelnya :)

    setuju banget kalau memang benar dan dapat segera direalisasikan revitalisai kota tua ini untuk kawasan wisata terpadu sampai ke Gunung Padang. Menarik. Tapi memang perlu kerjasama semua pihak ya, masyarakatnya juga. masih menyayangkan kebersihan yang belum optimal di tepian sungai menuju Gunung Padang. hoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trima kasih uda atas apresiasinya. setidaknya inansi terkait sudah merapikan beberapa titik di kawasan objek wisata terpadu ini. Betul, perlu kerja sama antar semua komponen. Sanitasi memang menjadi persoalan tersendiri di objek wisata. Mari sama-sama menjaga Kota Padang untuk lebih baik lagi :D

      Delete
  2. kota tua ini emang unik dan selalu terbayang suasana jaman kolonial.. Semoga tetap ada dan tidak hilang tergantikan gedung2 modern..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe ia uda bara
      Udah jalan2 ke kota tua belom da?

      Delete
  3. wah di padang jg ada kota tua, menarik sekali semakin beragam wisata kota padang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia mas Budy. Cuma belom optimal pengelolaannya. Apalagi sejak gempa 2009. Umumnya kota tua ini milik pribadi dan jdi gudang barang oleh beberapa perusahaan sehingga butuh waktu utk bisa direvitalisasi. Hehe

      Delete
  4. Wiiihh bangunan tua-nya disana kerenn-keren ya coba kalau dipugar kembali mungkin akan menjadi ikon baru.. Jadi pengen menulis tentang bangunan-bangunan tua kota yang cuma jadi draft terus :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe ia mas Baktiar. Sedang menunggu proses revitalisasi saja. doakan saja Kota Tua Padang ini jadi kawasan heritage yang tidak kalah dengan Bandung, Semarang atau Jakarta. hehe

      Delete
  5. saya selalu tertarik dengan kawasan kota lama, apalagi nagari awak. kebetulan saya mahasiswa arsitektur, sedang mendalami kawasan kota lama ini untuk bahan Tugas Akhir saya. Terima kasih atas artikelnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah mantap uni, terima kasih sudah singgah.
      kapan2 bisa kita bertemu dan berkeliling kota tua padang. :D

      Delete
  6. terimakasih mas bayu, pinjam bahannya untuk tulisannya ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf Bapak/Ibu IndoJaya. Saya tidak mengizinkan tulisan ini untuk dipinjam atau dicopas bila tidak mencantumkan sumbernya dengan link nya juga. terima kasih

      Delete
  7. keren banget tulisannya... apakah berdomisili dipadang.. bisakah kita berdiskusi mengenai potensi wisata kota tua ini.. Kantor saya di Dinas Pariwisata Kota Padang, jalan Gandaria nomor 5..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih pak Medi. Ia pak tinggal di Kota Padang. Wah, senang sekali pak. Insyaallah saya akan berkunjung ke kantor bapak.

      Delete
  8. Terimakasih Bayu..sudah memberikan informasi valid. Sangat membantu sekali.Keep the good spirit..👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih bapak atas apresiasinya. Yuk kenalkan terus sejarah kota padang yang luput dari perhatian banyak orang :)

      Delete
  9. saya pernah sepedaan disini ... keren
    kalau dikemas menarik .. bakalan menjadi tempat wisata favorit .. banyak gedung2 tua yang megah, sungai dan muaranya .. juga pantainya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih nih. Ia Kota Tua Padang memang butuh perhatian khusus nih. Seharusnya ia menjadi tempat favorit yang terintegrasi dengan kawasan pantai
      JAngan pernah bosan untuk ke PAdang ya :)

      Delete
  10. ada informasi terkait bekas bangunan rumah sakit da yang sudah ada semenjak tahun 1870 an

    ReplyDelete
    Replies
    1. bekas rumah sakit di mananya uni? soalnya ada beberapa tempat yg pernah menjadi rumah sakti

      Delete
  11. Keren Da... Info sangat bermanfaat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih uni sudah berkunjung. Selamat menikmati ya. Rajin2 singgah y

      Delete
  12. Sudah lama saya mencari tulisan seperti ini untuk referensi get lost ala Padang saya haha.. Terima kasih sudah menulis ulasan soalnya ini uda :).

    ReplyDelete