Saturday, September 16, 2017

Mengintip De Javasche Bank (Bank Indonesia) Muaro Padang dari Zaman ke Zaman


Sesekali berjalan ke Jembatan Siti Nurbaya, Kota Padang akan terlihat dari ketinggian berbagai macam bentuk bangunan tua yang memberikan kesan kembali menerawang zaman kolonial dulu. Gedung bergaya arsitektur Belanda dengan beratapkan limas ini menjulang tinggi hampir sejajar posisinya dengan jembatan ini yang merupakan eks Kantor Bank Indonesia Muaro Padang.

Tidak akan sulit untuk menemukan bangunan tua ini masih berada di pusat kota. Bila berjalan dari Pelabuhan Muaro Padang akan melewati SPBU Muaro dan beberapa meter kemudian akan bertemu dengan persimpangan jalan. Bila lurus lanjut menuju Jalan Batang Arau bila belok ke kiri akan menuju Jalan Nipah. Persis di simpang jalan tersebut dekat dengan Jembatan Siti Nurbaya. Tepatnya berada di Jalan Batang Arau No. 60 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.

Dari Zaman ke Zaman De Javasche Bank, Cikal Bakal Bank Indonesia Padang

Beberapa bulan yang lalu ada pesan masuk dari Humas Bank Indonesia Padang ke akun Instagram Komunitas Padang Heritage. Intinya ingin berkolaborasi untuk menyelenggarakan bedah buku bersama Generasi Baru Indonesia (GenBI) Sumbar. Singkat cerita, pantia pun mempersiapkan segalanya mulai dari pemilihan tema, buku yang akan dibedah dan pembicaranya hingga akhirnya sampai pada waktu pelaksnaanya.

Bertempat di eks Kantor Bank Indonesia Muaro Padang pada 16 September 2017. Menghadirkan tiga pembicara yang mengupas Buku Konservasi Gedung Eks Kantor Bank Indonesia Padang di Muaro. Pertama dari Kepala Tim Pengembangan Ekonomi Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Barat Novi Cahyono membicarakan sejarah singkat Bank Indonesia dan materi pengetahuan umum kebanksentralan.

Kemudian, Prof. Dr. Mestika Zed, M.A., Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang ssebagai pembicara kedua, mengupas cerita Bank Indoensia Muaro Padang menjadi bagian terpenting dalam perkembangan Kota Padang tempo dulu. Pembicara terakhir, Ika Mutia, ST, M.Sc Ketua Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Bung Hatta membahas seputar konsevasi banguan Bank Indoensia Muaro Padang.

Singkat Cerita De Javasche Bank Muaro Padang

Bank Indoensia Muaro Padang (2016 | Koleksi Pribadi)

Kantor Bank Indonesia Muaro Padang atau De Javasche Bank Agentschap Padang (De Javasche Bank) ini merupakan gedung perbankan cabang yang ketiga setelah Surabaya dan Semarang dan pertama di luar jawa. Selain Kota Padang, De Javasche Bank tersebar di 12 kota penting Indonesia pada zaman kolonial Hindia Belanda. 

Kota Padang menjadi bagian terpenting dalam menopang perekonomian pemerintah kolonial dulunya, Pasalnya, kota pelabuhan ini pernah ditetapkan menjadi kota perdagangan terbesar di pesisir pantai Sumatra. Berbagai perusahan ekspor impor, gudang barang, pasar hingga adanya kantor bank yang hadir dalam mendukung roda perekonomian kota Padang pada zamannya.

Pada 29 Agustus 1864 kantor cabang De Javasche Bank dibuka tepian Batang Arau yang merupakan kawasan niaga penting tempo dulunya. Direktur pertamanya bernama A.W Verkouteren. Awalnya, gedung ini tidak ada di sini, tapi berada di sekitar Nipalaan Verpanding No. 1140 atau Jalan Nipah yang sekarang digunakan sebagai Kantor Inspektorat Provinsi Sumatra Barat. Kantor De Javasche Bank ini menempati gedung sementara, merupakan bekas gedung pemerintah yang dikosongkan atas kehendak Gubernur Sumatra Barat. 

Kantor pertama De Javashe Bank Tahun 1915-925 (sumber: Tropen Musseum)

Terwujudnya kantor De Javasche Bank di Padang ini, karena adanya permohonan dari Kamer van Koophandel en Nijverheid (Kamar Dagang dan Industri) Kota Padang kepada Pemerintah Pusat dan Direktur De Javasche Bank di Batavia. Kemudian pada 16 Desember 1865, mulai menggunakan gedung sendiri yang terletak di sekitar Grevelaan atau lokasi sekarang Jalan Batang Arau.

Seiring berjalannya waktu, Kota Padang berkembang sebagai pintu utama perdagangan dan keuangan di Sumatra. Kondisi ini yang menyebabkan direksi De Javasche Bank memutuskan untuk memperbarui gedung yang lama dengan gedung yang lebih modern pada tahun 1912.

Semula akan dibangun gedung baru di dekat Pelabuhan Muaro. Pada waktu itu, kawasan muara itu direncanakan menjadi areal pelabuhan, sehingga bengunan-bangunan yang tidak terkait dengan pengembangan pelabuhan akan sulit mendapatkan izin dari pemerintah kolonial Hinda Belanda. 

Aktivitas di Kantor De Javashe Bank (sumber: Tropen Musseum)
De Javasche Bank dan Kantor Pemerintah tahun 1895. (sumber: Tropen Museum)

Pembangunannya pun baru terlaksana pada 31 Maret 1921 dengan kontraktor Hulswitt-Fermont-Cuypers Architecten and Engineeren Beureau dari Batavia. Pada tahun 1925 gedung baru De Javasche Bank mulai difungsikan. Saat itu, Gubernur De Javasche Bank dijabatkan oleh Mr. L.J.A Trip (1924-1929).

Mestika Zed dalam Makalah Bedah Bukunya yang berjudul "Journey Through the Past Menjemput Warisan Masa Silam Dari De Javasche Bank Menjadi Menjadi BI Kota Padang, menuliskan, dalam lintasan sejarahnya, De Javasche Bank tidak selamanya berkembang linear. Ada juga masa-masa ketika pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat sedikit terganggu dan ini juga berdampak pada De Javasche Bank, khususnya di zaman krisis ekonomi tahun 1930 (Zaman Maleise) dan di zaman Perang Dunia II, yakni masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 serta pada masa perang kemerdekaan atau revolusi nasional tahun 1945-1950. 

Pada masa pendudukan Jepang, gedung De Javasche Bank pernah diambil alih dan kemudian diganti menjadi Nanpo Kaihatsu. Pada Oktober 1945, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Beberapa wilayah di Indonesia berhasil dikuasai Netherlands Indies Civil Administration (NICA), termasuk di antaranya Kota Padang. Pada 23 Oktober 1947 De Javasche Bank Agentschap Padang kembali dibuka oleh NICA.

Gedung De Javasche Bank Padang. (sumber: Globeasia.com)
Kantor Kedua De Javashe Bank tahun 1920-1925. (sumber: Tropen Musseum)

Pada 19 Juni 1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank untuk mengatur pembelian saham De Javasche Bank yang diperdagangkan di Bursa Efek Amsterdam. Lalu, pada 3 Agustus 1951 pemerintah mengajukan penawaran kepada para pemilik saham De Javasche Bank. Dalam waktu dua bulan, hampir seluruh saham De Javasche Bank terbeli.

Perkembangan baru yang amat penting dalam sejarah De Javasche Bank ialah pada tahun 1951, yaitu ketika terjadi pengabil-alihan dari tangan Belanda oleh pemerintah Indonesia (Kepres No. 123, Tahun 1951). Direktur pertamanya ketika itu masih bernama De Javasche Bank ialah Mr. Sjaruddin Prawiranegra, mantan Presiden PDRI (1948-1949), yang berpusat di Sumetera Barat itu. 

Tetapi perkembangan yang lebih penting adalah sejak tahun 1953, yaitu tatkala De Javasche Bank berubah diubah namanya menjadi Bank Indonesia. Dengan demikian uang sebagai simbol kedaulatan mempertegas kedaulatan Indonesia di bidang moneter dengan mata uang rupiah.

Kantor ketiga Bank Indonesia Cabang Padang di pusat kota Padang (sumber: panoramio.com)

Pada 1 Juli 1953, lahirlah Bank Indonesia melalui UU No. 11/1953 menggantikan De Javasche Bank dan merupakan bank sentral milik Indonesia dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, De Javasche Bank Agentschap Padang berubah menjadi Bank Indonesia Cabang Padang dan gedung ini tetap digunakan sampai 2 Januari 1977.

Setelah itu, Bank Indoensia Cabang Padang pindah ke Jalan Jenderal Sudirman No. 22 Padang, karena gedung yang lama sudah tidak dapat menampung kegiatan yang ada. Bangunan kokoh dan indah ini merupakan aset yang berharga bagi sejarah perbankan di Indonesia.

Pada 2 April 2012 Kantor Bank Indonesia Cabang Padang berubah nama menjadi Kantor Perwakilan Wilayah VIII BI Padang dan merupakan Kantor Bank Indonesia kelas I yang sekaligus sebagai kantor koordinator 3 Kantor BI Pekan Baru, Jambi dan Batam. Jadi dapat dikatakan bahwa Kantor Perwakilan Wilayah VIII BI Padang merupakan perpanjangan tangan dari Kantor Pusat Jakarta, di mana tugas dan fungsinya identik dengan kantor pusatnya.

De Javashce Bank Bagian Penting dari Padang Lama.


Suasana Padang lama tahun 1890-1930. (sumber: Tropen Museum)

Hadirnya kantor cabang De Javashce Bank di Padang menunjukkan pentingnya kota ini sebagai pintu utama perdagangan dan keuangan di Sumatra. Dalam makalahnya , Mestika Zed (2017), menuliskan Gedung Eks Kantor Bank Indonesia Padang di Muaro merupakan satu titik situs warisan sejarah (historical hertage) Kota Padang dua abad lalu, yaitu gedung Javasche Bank, sebuah lembaga keuangan zaman kolonial Belanda, yang kemudian dinasionalisasi menjadi milik negara bernama Bank Indonesia tahun 1953. 

Pada akhir abad ke-19 ada seorang pejabat Belanda di Padang yang mengatakan, bahwa jika mega proyek ‘tiga serangkai’ dibangun di daerah ini, maka dalam waktu singkat Kota Padang akan menjadi kota metropolitan terpenting di luar Jawa. Ketiga proyek raksasa itu ialah (i) tambang batubara Ombilin di Sawahlunto, (ii) jaringan transportasi kereta api dan (iii) pembukaan pelabuhan Telukbayur (Emmahaven), pengganti pelabuhan lama di Muaro Padang. 

De Javashce Bank adalah lembaga keuangan modern terpenting di masa kolonial Belanda dan menjadi salah satu pilar penting bagi kehadiran kota metropolitan Batavia di masa lalu. De Javashce Bank Pusat didirikan pemerintahan Belanda di Batavia pada tahun 1828, yakni pada masa Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Pegawai De Javache Bank tempo dulu. (sumber: Tropen Museum)

Berdirinya De Javasche Bank Cabang Padang menggambarkan peran sentral, yang akan dimainkan oleh Kota Padang dalam perekonomian di daerah ini. Pada masa ini sistem tanam paksa kopi (1847-1908) sedang mengalami puncak kejayaannya. De Javasche Bank Cabang Padang dirancang untuk menyambut perkembangan ini, khususnya untuk memfasilatasi lalu-lintas transaksi keuangan ini dalam dinamika perekonomian internasional di daerah ini. 

Pada dekade pertama berdirinya, De Javasche Bank cabang Padang sudah memperlihatkan capaian kemajuan yang luar biasa. Terlebih lagi sejak pembangunan mega-proyek ‘tiga serangkai’ pada pergantian abad ke-19 hingga ke-20. 

Sejak itu jumlah nasabahnya meningkat tajam. Bukan hanya melayani kepentingan nasabah eksportir Eropa dan Cina tetapi juga pengusaha pribumi.  Sekali lagi, urat nadi ketiga proyek itu dengan sendirinya berpunca pada De Javasche Bank Cabang Padang, yakni satu-satunya cabang bank sentral di Sumatera pada pertengahan abad ke-19. 

Suasana kantor De Javasche Bank era kemerdekaan (Foto: IST)

De Javasche Bank pada gilirannya juga berdampak hebat terhadap perkembangan Kota Padang khususnya dan Sumatra Barat umumnya. Pertama, pengenalan sistem ekonomi uang (dan moneter) di lingkungan masyarakat lokal dalam bentuk mata-uang kertas “gulden” dan pencahannya. 

Kedua, kehadiran De Javasche Bank juga berdampak pada perluasan pusat kota dari kota lama sepanjang Batang Arau ke Pasar Gadang, Pasar Mudik melebar ke Pasar Jawa serta Jalan Belantung atau Jalan Sudirman sekarang dan seterusnya. Dengan kata lain, kawasan kota lama tak lain adalah ‘tapak sejarah’ kota. Di kawasan Batang Arau Muaro inilah mula-mula kota ini dibangun di zaman VOC, tepatnya 7 Agustus 1669. 

Ketiga, lembaga keuangan De Javasche Bank itu juga mendorong terjadinya peningkatan tanaman perdagangan (komoditisasi) hasil pertanian rakyat. Di sini pula berdirinya perusahaan raksasa “the Big Five”, yaitu lima perusahaan terbesar di Hindia Belanda juga membuka cabangnya di kota lama ini. 

Kenangan Monumen de Greve 

Monumen de Greave yang berada dekat dengan Kantor Bank Indonesia Muaro (sumber: Tropen Museum)

Dulu, di bagian depan Gedung Bank Indonesia Muaro Padang ini, sebelum adanya Jembatan Siti Nurbaya terdapat sebuah monumen berupa tugu kecil yang bernama Monumen de Greave. Dibangun untuk mengenang Ir. Willem Hendrik de Greve, ahli pertambangan Belanda yang mati hanyut ketika melakukan penelitian di Batang Kuantan pada tahun 1872. 

De Grevee sangat berjasa besar dalam penemuan tambang barubara Sawahlunto dan berdampak besar pada pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti jalan, jembatan, rel kereta api, pelabuhan Teluk Bayur. Untuk mengenangnya maka taman di depan De Javasche Bank ini diberi nama Taman De Greve dan dermaga di tepian Batang Arau juga dinamakan dengan Dermaga De Greve (De Grevekade). Sayangnya monumen tersebut sudah tidak ada lagi.

Menengok Sudut Arsitektur De Javasche Bank Muaro Padang 

Bank Indoensia Muaro Padang. (2017 | Koleksi Pribadi)

Kesempatan menjelajahi tiap bagian banguan ini memang langka, karena untuk bisa masuk ke dalam gedung sangat terbatas. Terkecuali ada kegiatan tertentu seperti saat bedah buku ini. Saya bersyukur bisa berkeliling melihat lebih dekat gedung yang terdiri dari dua lantai ini.

Bangunan De Javasche Bank Padang memiliki bentuk yang mirip dengan arsitektur bangunan ini sedikit mangambil gaya rumah pendopo jawa. Pintu-pintunya dibuat lebar dan tinggi bergaya Eropa. Puncak atapnya berbentuk limas seperti kubah masjid dan terbuat dari genteng.

Bangunan ini berdenah segi empat. Di bagian muka, bagian tengah agak menjorok ke luar. Secara keseluruhan mempunyai luas bangunan 22.75 x 19,5 m sekitar 443,625 m2. Sekeliling dinding bangunan terdapat jendela kaca yang diberi jeruji besi, jendela dibuat ramping dan tinggi. Di bagian depan terdapat 9 buah jendela, di bagian samping masing-masing terdapat empat buah jendela yang sama. 

Pintu utama dengan puluhan anak tangga (2016 | Koleksi Pribadi)
Jalan menuju ruang utama gedung. Mewah dan Megah. (sumber: thearoengbinangproject.com)

Terdapat dua pintu masuk untuk ke gedung ini melalui pintu utama yang posisinya berada di tengah berada di bagian timur gedung dan pintu belakang yang berada tidak jauh dengan pos petugas keamanan. Layaknya bangunan kolonial lainnya yang berdinding tebal dan bentuk bangunan yang tinggi, gedung ini memiliki ketebalan dinding sekitar 80 cm.

Jika masuk ke gedung ini melalui pintu utama akan menaiki belasan anak tangga dengan lantai keramik marmer hingga disambut dengan pintu kayu yang tinggi dengan jendela kaca patri warna warni. Saya saja terkagum-kagum dengan interior yang tersemat dalam tiap sudutnya. Mengah dan terlihat mewah.

Dari pintu utama ini akan langsung menuju lantai dua, sampai di bagian bangunan yang kemungkinan dulunya menjadi tempat transakasi nasabah. Di sini terlihat ada 4 ruangan yang disekat. Pertama bisa langsung ke ruangan utama yang luas dan saat ini biasanya digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan kegiatan yang kapasitas maksimal bisa mencapai 100 orang. 

Sebelum dari ruang aula akan terlihat ruangan dispaly uang lama dan papan penjelasan soal sejarah perbankan dan uang tunai dari zaman ke zaman. Memang kelengkapan koleksinya terbatas, tapi cukup memberikan informasi bagi yang kesempatan bisa masuk ke gedung ini.


Ornamen dan interior dalam gedung yang klasik (2017 | Koleksi Pribadi)
Papan informasi seputar sejarah perbankan di Indoensia dan Padang ( 2017 | Koleksi Pribadi)
Tamipan uang rupiah (2017 | Koleksi Pribadi)

Kemudian ruang ketiga ada peralatan mesin ketik dan alat-alat tua yang digunakan dulunya oleh kantor ini. Ruangan ini terkunci dan hanya bisa dilihat dari kaca saja. Sebelahnya ruangan keempat yang merupakan ruangan kosong, berisi kursi dan meja kuno dengan sekelilingnya terdapat pajangan foto-foto direksi Bank Indonesia Cabang Padang ini.

Jika tangga menuju lantai dua ini berbahan marmer, maka pada tiap ruangan di lantai dua ini menggunakan ubin klasik yang ukurannya kira-kira 10x10 cm berwarna hitam dan putih kecoklatan. Begitu juga untuk di lantai satunya mengunakan ubin yang ukurannya sama dengan di lantai dua. 

Nah, untuk lantai satunya. Tidak ada yang boleh masuk karena merupakan bunker penyimpanan uang dan selulu tergenang. Tidak banyak orang yang pernah melihat ruangan yang ada dilantai satu ini. Untungnya saya sempat melihat satu per satu ruangannya di lantai satu ini. Apa isinya? Rahasia. Hehehe

Menurut Ika Mutia (2017), upaya konservasi banguan cagar budaya yang dimiliki oleh Bank Indonesia ini sudah tepat, karena tidak semua banguanan tua yang ada di Kota Padang dalam keadaan terawat baik seperti De Javasche Bank Muaro Padang. Berdasarkan klasifikasi golongannya, gedung ini merupakan termasuk golongan A dari 12 daftar banguan cagar budaya di Kota Padang.

Mulai tahun 2006, Bank Indonesia melakukan konservasi terhadap gedung Eks De Javasche Bank. Ada 12 gedung kuno DJB yang mulai konservasi, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Jakarta Kota, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Kediri, Surabaya, Malang, dan Manado. Kota Padang kebetulan terpilih sebagai kota pertama sebagai tempat pencanangan pelestarian dan pemanfaatan bangunan heritage (PPPBH) Bank Indonesia.

Konservasi pada bangunan De Javasche Bank Muaro Padang dimulai sejak tahun 2007. Sempat pula mengalami kerusakan ringan pada beberapa bagian dindingnya pasca Gempa 30 September 2009 lalu. Kemudian setelah dikonservasi, gedung ini diresmikan kembali oleh Deputi Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmajo pada 29 Januari 2011.

Kini De Javasche Bank Muaro Padang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh pemerintah Kota Padang tahun 2008 dengan nomor inventaris 38/BCB-TB/A/01/2007. Kemudian telah mendapat registrasi nasional yakni, RNCB. 20100622. 02. 000562 dengan surat keputusan penetapan SK Menteri No PM.54/PW.007/MKP/2010.

Gedung Bank Indonesia Muaro Padang Jejak Sejarah dan Menjadi Sentral Wisata Edukasi


Kegiatan Bedah Buku yang dilaksanakan di eks Kantor Bank Indonesia Muaro Padang ini secara tidak langsung manjadi sarana edukasi dalam memperkenalkan sejarah dari perkembangan perbankan di Kota Padang dan sekaligus di Minangkabau. Meski tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengijakan kakinya di dalam gedung tua yang tergolong terawat baik dan sangat terjaga di Kawasan Kota Tua Padang ini.

Menurut Mestika Zed (2017), keberadaan Gedung Bank Indonesia Muaro Padang yang indah ini sebaiknya tidak hanya sekadar mengusung kebanggaan dengan kemegahan gedung dan arsitekturnya dalam arti fisik belaka. Kebesaran masa lalunya sebagai center of excellence di bidang ekonomi moneter kota di masa lalu seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan warisan budaya (cultural heritage) kota masa kini dan di masa datang.


Dengan kata lain, gedung ini diharapkan mampu berperan sebagai salah satu center of excellence dalam pengembangan budaya (gagasan-gagasan pikiran dan praktek) yang bersifat inovatif dan reproduktif dengan menyediakan pelbagai bentuk sarana dan prasarana serta kegiatan seperti perpustakaan, museum dan cafe unik yang spesifik serta pelbagai bentuk kegiatan ekonomi kreatif yang tengah digalakkan pemerintah.

Kiranya, Bank Indonesia Cabang Padang ini dapat mengupayakan gedung ini untuk dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Tentunya dalam rangka mencerdaskan anak bangsa dengan bisa piknik untuk melihat, mengamati, dan memahami seluk beluk dunia kebanksentralan sejak dini. 

***

Ternyata dari sedikit sejarah Gedung De Javasche Bank atau eks Kantor Bank Indonesia Muaro Padang ini, dapat mengenal lebih jauh lagi perjalanan panjang Padang tempo dulu dari satu sudut riwayat. Ibarat rantai, semuanya saling terkait dan mengkaitkan. Dalam hal ini seputar dunia perbankkan yang memiliki peranan penting bagi kehidupan Kota Padang saat ini.

Referensi:
1. Suryadi. "Gedung De Javasche Bank di Padang". Harian Singgalang, Minggu, 26 Desember 2010. 
2. Suryadi. "Kantor Baru De Javasche Bank di Padang". Harian Singgalang, Minggu, 14 April 2013.
3. Anonim. "Gedung Bank Indonesia Padang Lama". Artikel Internet. Diakses September 2017.
4. Mestika Zed (2017). "Journey Through the Past Menjemput Warisan Masa Silam Dari De Javasche Bank Menjadi Menjadi BI Kota Padang". Makalah Bedah Buku. Padang, 16 September 2017.

————————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

2 comments:

  1. penasaran juga pengen liat daleman museum BI di Padang itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehhe dalemannya megah bg terutama lantai 2. Kalo lantai satunya sebagai banker pitis dulunya dan untuk masuk kesini terbatas. Kecuali ada kegiatan hehehe

      Delete