Sunday, November 15, 2015

Surau Lubuk Bauk Tempat Belajar Buya Hamka Semasa Kecil


Suatu ketika saat saya ikut tim monitoring mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat Universitas Bung Hatta di Kabupaten Tanah Datar, kami melewati jalan raya Padang Panjang –Solok untuk singgah di Nagari Sumpur dekat Danau Singkarak. Kala itu, saya melihat sebuah mesjid yang berbentuk cukup unik sehingga terlintas dalam pikiran saya untuk dapat datang mengunjungi ke masjid itu.

Setelah saya cari tahu ke paman Google, ternyata nama masjid itu adalah Surau Lubuk Bauk. Niat tersebut belum juga tersampaikan, padahal sudah beberapa kali melalui jalan yang serupa. Akhirnya saya berkesempatan juga mengunjungi surau ini.
 


Sekilas surau ini tidak begitu menarik bagi sebagian orang, tapi bagi saya sangat menarik sekali, terutama  untuk menjelajah peninggalan sejarah. Betapa tidak, surau ini menjadi tempat yang kedua setelah Masjid Tuo Kayu Jao di Kabupaten Solok yang saya telusuri untuk mencari bangunan bersejarah di Ranah Minang dan melihat perpaduan budaya lokal dalam arsitektur masjidnya.

Tidak banyak yang mengetahui Surau Lubuk Bauk ini, namun setelah menjadi salah satu lokasi syuting film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, masjid ini kembali dikenal oleh masyarakat se-nusantara. Film tersebut  yang diangkat dari karya novel Buya Hamka.

Kabarnya di sini Buya Hamka belajar mengaji, menimba ilmu, dan tidur di surau dekat rumahnya ini sekitar tahun 1925-1928. Buya Hamka berguru dengan Syekh Harun al-Rasyidi at-Tobohi al-Pariyamani yang berasal dari Pariaman.


Surau Lubuk Bauk merupakan bangunan masjid kuno terletak di Jorong Lubuk Bauk Nagari Batipuh Baruh Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar dan hanya sekitar 6 km dari Kota Padang Panjang.  Bangunan surau terletak lebih rendah ± 1 m dari jalan raya. Surau ini berbatasan dengan jalan raya di bagian utara, kolam dan masjid di bagian timur, kolam dan rumah penduduk di bagian selatan, dan rumah penduduk di bagian barat.

Menurut ceritanya, surau ini dibangun oleh para ninik mamak yang berasal suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku sekitar tahun 1896 dan diperkirakan selesai tahun 1901. Tanah surau ini berasal dari wakaf Datuk Bandaro Panjang. Surau ini dibangun sepenuhnya dengan bahan utama kayu Surian dengan luas 154 m2 dan tinggi bangunan sampai ke puncak ± 13 m dengan corak bangunan dari Koto Piliang yang dapat dilihat dari susunan atap dan adanya menara.


Bangunan dikelilingi pagar besi berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,40 m terdiri dari tiga lantai dan satu lantai berfungsi sebagai kubah/menara yang terletak di atas atap gonjong berbentuk segi delapan. Lantainya berupa lantai panggung dan atapnya dari seng.

Dinding-dindingnya polos tanpa hiasan (ukiran). Atapnya bersusun emoat tanpa kubah. Atap susun ketiga merupakan atap gonjong menghadap ke arah mata angin. Bagian dinding yang berbentuk segitiga dengan penutup gonjong di keempat sisinya, terdapat hiasan ukuran berupa motif hiasan dari Minangkabau, Belanda, dan Cina.


Bangunan surau memiliki atap bersusun tiga yang terbuat dari seng. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk gonjong di keempat sisinya. Dari puncak atasnya terdapat hiasan berbentuk catra seperti pada bagian puncak stupa.

Susunan atap dengan bangunan menara tersebut melambangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Bahkan diyakini dulunya oraganisasi Muhammdiyah sebelum berkembang di kauman Padang Panjang, lebih dulu berkembang di Lubuk Bauk tersebut sehingga perannya memiliki peran besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang agama Islam di Sumatra Barat.


Pintu gerbang terletak di timur menghadap ke selatan (jalan raya), sedangkan pintu masuk surau terletak di timur dan naik melalui enam buah anak tangga. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan.  Di depan pintu terdapat tempat mengambil air wudhu dan sebelah kanan dari pintu masuk terdapat satu bedug dengan atap begonjong dengan ukuran kira-kira 1,5 x 1,5 m.

Bangunan Surau Nagari Lubuk Bauk terdiri dari 3 lantai. Denah lantai pertama berukuran 12 × 12 m dan Lantai I merupakan ruang utama untuk salat dan juga tempat belajar agama. Di sisi barat terdapat mihrab berukuran 4 × 2,50 m. Di ruang ini tidak terdapat mimbar. Ruang utama ini ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Jumlah tiangnya sama dengan jumlah tiang di rumah gadang.

Tiang tersebut berbentuk segi delapan dan tiang bagian tengah diberi ukiran di sebelah atas serta bagian bawahnya. Dinding dan lantai terbuat dari bilah papan, dan pada sisi utara, selatan, dan timur terdapat jendela yang diberi penutup. Di bagian luarnya terdapat ukir-ukiran berpola tanaman sulur-suluran. Ukiran diletakkan di bagian atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan.

Kemudian Lantai dua berukuran 10 × 7,50 m, lebih kecil dari lantai I. Untuk masuk ke lantai II melalui sebuah tangga kayu. Di dalam lantai II tiang utama (empat tonggak) juga diberi ukiran-ukiran yang berpola sama dengan tiang di lantai I.

Sedangkan lantai Lantai tiga berdenah bujur sangkar berukuran 3,50 × 3,50 m. Di tengah-tengah ruangan terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara.  Di bagian luar lantai III membentuk empat serambi dengan atap membentuk gonjong sebagai ciri-ciri khas bangunan Minangkabau yang menghadap ke arah empat mata angin.


Dinding serambi yang menghadap luar penuh dengan ukiran yang diberi wama merah, kuning, dan hijau mengambil pola tumbuhan pakis seperti pola biasa pada bangunan rumah seorang tokoh masyarakat atau pemerintahan. Di salah satu bidang hias, di setiap serambi terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamar oleh tumbuh-umbuhan dan ukuran tersebut. mengingat motif uang Belanda dan mahkota kerajaan. Maklum surau ini dibangun semasa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di bawah sistem kelarasan.

Kabarnya, empat serambi melambangkan Jurai nan Ampek Suku, agama, dan lambang dan empat tokoh pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagaruyung. Sedangkan ukiran pakis di bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam nagari.


Untuk bangunan bangunan menara terlihat berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Pada bagian luar, terdapat ukiran sulur-suluran pada bagian bawah dan pada bagian atasnya terdapat hiasan dengan pola segi empat. Bagian atas menara diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan (labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan diakhiri oleh bagian yang runcing (gonjong).


Dalam perkembangannya Surau Lubuk Bauk tersebut termasuk salah satu benda peninggalan sejarah yang telah dilakukan kajiannya pada tahun 1984 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat bahkan juga sudah dilaksanakan pemugaran  Surau Lubuk Bauk pada tahun anggaran 1992/1993.

Meski tak jauh dari surau ini terdapat masjid yang cukup luas, sampai saat ini  Surau Lubuk Bauk masih digunakan sebagai tempat belajar mengaji dan mempelajari pengetahuan adat disamping melakukan musyawarah/rapat bagi masyarakat setempat. Surau Lubuk Bauk dapat menjadi salah satu destinasi wisata budaya dan religi yang dapat jelajahi.


—————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan dan foto ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

1 comment:

  1. Sangat informatif Uda Bay. Postingan lama ternyata dari kidal narsis. Tapi sangat menarik ketika Saya coba baca dengan seksama. Bahasa yang sangat mudah dimengerti. Sekedar masukan saja Uda Bay. Ada kata Minang yang sepertinya kurang pas di Indonesiakan seperti begonjong dsb. Mhn maaf sebelumnya Uda Bay. Assalamualaikum

    ReplyDelete