Suatu ketika saat saya ikut
tim monitoring mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat
Universitas Bung Hatta di Kabupaten Tanah Datar, kami melewati jalan raya Padang
Panjang –Solok untuk singgah di Nagari Sumpur dekat Danau Singkarak. Kala itu, saya melihat sebuah mesjid yang berbentuk cukup unik sehingga terlintas dalam
pikiran saya untuk dapat datang mengunjungi ke masjid itu.
Setelah saya cari tahu ke
paman Google, ternyata nama masjid itu adalah Surau Lubuk Bauk. Niat tersebut
belum juga tersampaikan, padahal sudah beberapa kali melalui jalan yang serupa. Akhirnya saya berkesempatan juga mengunjungi surau ini.
Sekilas surau ini tidak begitu
menarik bagi sebagian orang, tapi bagi saya sangat menarik sekali, terutama untuk menjelajah peninggalan sejarah. Betapa
tidak, surau ini menjadi tempat yang kedua setelah Masjid Tuo Kayu Jao di
Kabupaten Solok yang saya telusuri untuk mencari bangunan bersejarah di Ranah Minang
dan melihat perpaduan budaya lokal dalam arsitektur masjidnya.
Tidak banyak yang mengetahui Surau
Lubuk Bauk ini, namun setelah menjadi salah satu lokasi syuting film Tenggelamnya
Kapal Van der Wijk, masjid ini kembali dikenal oleh masyarakat se-nusantara.
Film tersebut yang diangkat dari karya
novel Buya Hamka.
Kabarnya di sini Buya Hamka belajar mengaji, menimba ilmu, dan tidur di surau dekat rumahnya ini sekitar tahun 1925-1928. Buya Hamka berguru dengan Syekh Harun al-Rasyidi at-Tobohi al-Pariyamani yang berasal dari Pariaman.
Kabarnya di sini Buya Hamka belajar mengaji, menimba ilmu, dan tidur di surau dekat rumahnya ini sekitar tahun 1925-1928. Buya Hamka berguru dengan Syekh Harun al-Rasyidi at-Tobohi al-Pariyamani yang berasal dari Pariaman.
Surau Lubuk Bauk merupakan
bangunan masjid kuno terletak di Jorong Lubuk Bauk Nagari Batipuh Baruh
Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar dan hanya sekitar 6 km dari Kota Padang
Panjang. Bangunan surau terletak lebih
rendah ± 1 m dari jalan raya. Surau ini berbatasan dengan jalan raya di bagian
utara, kolam dan masjid di bagian timur, kolam dan rumah penduduk di bagian
selatan, dan rumah penduduk di bagian barat.
Menurut ceritanya, surau ini dibangun
oleh para ninik mamak yang berasal suku Jambak, Jurai Nan Ampek Suku sekitar
tahun 1896 dan diperkirakan selesai tahun 1901. Tanah surau ini berasal dari
wakaf Datuk Bandaro Panjang. Surau ini dibangun sepenuhnya dengan bahan utama
kayu Surian dengan luas 154 m2 dan tinggi bangunan sampai ke puncak ± 13 m
dengan corak bangunan dari Koto Piliang yang dapat dilihat dari susunan
atap dan adanya menara.
Bangunan dikelilingi pagar
besi berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,40 m terdiri dari tiga lantai
dan satu lantai berfungsi sebagai kubah/menara yang terletak di atas atap
gonjong berbentuk segi delapan. Lantainya berupa lantai panggung dan atapnya
dari seng.
Dinding-dindingnya polos tanpa
hiasan (ukiran). Atapnya bersusun emoat tanpa kubah. Atap susun ketiga
merupakan atap gonjong menghadap ke arah mata angin. Bagian dinding yang
berbentuk segitiga dengan penutup gonjong di keempat sisinya, terdapat hiasan
ukuran berupa motif hiasan dari Minangkabau, Belanda, dan Cina.
Bangunan surau memiliki atap
bersusun tiga yang terbuat dari seng. Atap pertama dan kedua berbentuk limasan,
sedangkan atap ketiga yang juga berfungsi sebagai menara memiliki bentuk
gonjong di keempat sisinya. Dari puncak atasnya terdapat hiasan berbentuk catra
seperti pada bagian puncak stupa.
Susunan atap dengan bangunan
menara tersebut melambangkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Bahkan
diyakini dulunya oraganisasi Muhammdiyah sebelum berkembang di kauman Padang Panjang,
lebih dulu berkembang di Lubuk Bauk tersebut sehingga perannya memiliki peran
besar dalam melahirkan santri dan ulama yang selanjutnya menjadi tokoh pengembang
agama Islam di Sumatra Barat.
Pintu gerbang terletak di
timur menghadap ke selatan (jalan raya), sedangkan pintu masuk surau terletak
di timur dan naik melalui enam buah anak tangga. Di atas pintu (ambang pintu)
terdapat tulisan arab Bismillahirrahmanirrahim yang dibuat dengan teknik ukir
dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Di depan pintu terdapat tempat mengambil air
wudhu dan sebelah kanan dari pintu masuk terdapat satu bedug dengan atap
begonjong dengan ukuran kira-kira 1,5 x 1,5 m.
Bangunan
Surau Nagari Lubuk Bauk terdiri dari 3 lantai. Denah lantai pertama berukuran
12 × 12 m dan Lantai I merupakan ruang utama untuk salat dan juga tempat
belajar agama. Di sisi barat terdapat mihrab berukuran 4 × 2,50 m. Di ruang ini
tidak terdapat mimbar. Ruang utama ini ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga
yang bertumpu di atas umpak batu sungai. Jumlah tiangnya sama dengan jumlah
tiang di rumah gadang.
Tiang tersebut berbentuk segi
delapan dan tiang bagian tengah diberi ukiran di sebelah atas serta bagian
bawahnya. Dinding dan lantai terbuat dari bilah papan, dan pada sisi utara,
selatan, dan timur terdapat jendela yang diberi penutup. Di bagian luarnya
terdapat ukir-ukiran berpola tanaman sulur-suluran. Ukiran diletakkan di bagian
atas lengkungan-lengkungan yang menutupi kolong bangunan.
Kemudian Lantai dua berukuran
10 × 7,50 m, lebih kecil dari lantai I. Untuk masuk ke lantai II melalui sebuah
tangga kayu. Di dalam lantai II tiang utama (empat tonggak) juga diberi
ukiran-ukiran yang berpola sama dengan tiang di lantai I.
Sedangkan lantai Lantai tiga berdenah bujur sangkar berukuran 3,50 × 3,50 m. Di tengah-tengah ruangan
terdapat satu tiang dengan tangga melingkar untuk naik ke menara. Di bagian luar lantai III membentuk empat
serambi dengan atap membentuk gonjong sebagai ciri-ciri khas bangunan Minangkabau
yang menghadap ke arah empat mata angin.
Dinding serambi yang menghadap
luar penuh dengan ukiran yang diberi wama merah, kuning, dan hijau mengambil
pola tumbuhan pakis seperti pola biasa pada bangunan rumah seorang tokoh
masyarakat atau pemerintahan. Di salah satu bidang hias, di setiap serambi
terdapat dua ukiran bundar yang bagian tengahnya disamar oleh tumbuh-umbuhan
dan ukuran tersebut. mengingat motif uang Belanda dan mahkota kerajaan. Maklum surau ini dibangun semasa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di bawah sistem kelarasan.
Kabarnya, empat serambi
melambangkan Jurai nan Ampek Suku, agama, dan lambang dan empat tokoh
pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagaruyung. Sedangkan ukiran pakis di
bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam
nagari.
Untuk bangunan bangunan menara
terlihat berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela jendela semu yang
diberi kaca di setiap sisinya. Pada bagian luar, terdapat ukiran sulur-suluran
pada bagian bawah dan pada bagian atasnya terdapat hiasan dengan pola segi
empat. Bagian atas menara diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan
(labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan diakhiri oleh bagian yang
runcing (gonjong).
Dalam perkembangannya Surau Lubuk Bauk tersebut termasuk salah satu benda peninggalan sejarah yang telah
dilakukan kajiannya pada tahun 1984 oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat bahkan juga sudah dilaksanakan
pemugaran Surau Lubuk Bauk pada tahun anggaran 1992/1993.
Meski tak jauh dari surau ini
terdapat masjid yang cukup luas, sampai saat ini Surau Lubuk Bauk masih
digunakan sebagai tempat belajar mengaji dan mempelajari pengetahuan adat
disamping melakukan musyawarah/rapat bagi masyarakat setempat. Surau Lubuk Bauk dapat menjadi salah satu destinasi wisata budaya dan religi yang dapat jelajahi.
—————————————————————————————————————————————————
—————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan dan foto ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
Sangat informatif Uda Bay. Postingan lama ternyata dari kidal narsis. Tapi sangat menarik ketika Saya coba baca dengan seksama. Bahasa yang sangat mudah dimengerti. Sekedar masukan saja Uda Bay. Ada kata Minang yang sepertinya kurang pas di Indonesiakan seperti begonjong dsb. Mhn maaf sebelumnya Uda Bay. Assalamualaikum
ReplyDelete