Aktivitas perkeretaapin di awal abad ke-20 sangat menggeliat sekali. Hilir mudik kereta api hampir melewati seluruh kabupaten kota di Ranah Minang. Kepulan lokomotif bahan bakar batubara menghiasi langit Minangkabau. Tempo itu, kereta api menjadi primadona sebagai transportasi masal yang bisa melawati medan alam Minangkabau yang berbukit-bukit.
Keberadaan stasiun tiap kota memiliki kisah tersediri yang menarik untuk diulik. Sebut saja Stasiun Pajakumbuh. Namanya saja unik dan masih menggunakan ejaan lama. Bisa dilihat pada papan nama yang terletak di tengah bangunan stasiun ini. Nama Payakumbuh ini juga ada bermacam-macam, mulai dari kata Pajacombo, Pajakoemboeh hingga Pajakumbuh.
Hiruk pikuk Kota Payakumbuh seakan tidak bisa dilepaskan dari stasiun ini. Meski denyutnya telah berhenti. Namun, secara fisiknya masih kokoh berdiri melawan kerasnya pembangunan kota yang kian menyesak. Ruangnya kian terbatas dan terperangkap pada cerita nostagia yang harus dijemput kembali.
Stasiun Pajakumbuh lahir tidak lepas dari proyek strategis Pemerintah Hindia Belanda pasca ditemukannya kandungan batubara di Sawahlunto serta adanya potensi emas di Mangani. Stasiun Pajakumbuh dibangun oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda yang bernama Soematra Staatsspoorwegen.
Hadirnya kereta api di Sumatera Barat pada mulanya untuk memudahkan arus distribusi pengangkutan hasil alam. Keberadaan kereta api di Sumatera Barat adalah bentuk dari adaptasi lingkungan dengan teknologi. Pembangunan rel kereta api yang pada awalnya adalah untuk memudahkan proses distribusi batu bara (Tsuyoshi Kato).
Stasiun Pajakumbuh pun mulai eksis sejak 15 September 1896. Jalur keretanya ini merupakan rute Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh (1896-1906) yang rencanaya akan diteruskan ke Bangkinang, Riau.
Sayangnya, jalur ini hanya berhenti hingga Stasiun Pajakumbuh, meskipun sebelumnya ada cabang rute dari Payakumbuh-Limbanang, khusus eksploitasi tambang emas yang sayangnya harus ditutup juga pada tahun 1933.
Sayangnya, jalur ini hanya berhenti hingga Stasiun Pajakumbuh, meskipun sebelumnya ada cabang rute dari Payakumbuh-Limbanang, khusus eksploitasi tambang emas yang sayangnya harus ditutup juga pada tahun 1933.
Eksistensi perkeretaapian di Ranah Minang pun tidak bertahan lama dan memberi dampak bagi aktivitas di sekitarnya hingga berujung pada nonaktifnya Stasiun Pajakumbuh sekaligus rutenya sejak tahun 1973.
Padamnya kepulan lokomotif batubara dan disel ini akibat peran kereta api yang mulai digeser oleh bus yang lebih cepat dan efesien. Ada juga yang beranggapan akibat asap pembakaran batubara pada lokomotif yang membuat kotor pakaian penumpang. Kebayang saja jika menggunakan baju putih sampai tempat tujuan sudah abu-abu. Hehehe
Padamnya kepulan lokomotif batubara dan disel ini akibat peran kereta api yang mulai digeser oleh bus yang lebih cepat dan efesien. Ada juga yang beranggapan akibat asap pembakaran batubara pada lokomotif yang membuat kotor pakaian penumpang. Kebayang saja jika menggunakan baju putih sampai tempat tujuan sudah abu-abu. Hehehe
Bila diajak nostalgia, setidaknya ada empat foto jadul yang berhasil saya temukan yang menujukan aktivitas di stasiun yang riuh oleh penumpang sedang menunggu keberangkatan dalam rentang tahun 1901 hingga 1935. Bisa jadi ini dokumentasi ketika pembukaan jalur atau penyambutan pejabat tinggi kolonial di Minangkabau.
Ada jejak yang tidak bisa dilupakan dari keberadaan Stasiun Pajakumbuh ini. Meski kondisinya butuh perhatian serius, Stasiun Pajakumbuh ini merupakan tinggalan sejarah yang penting dan tentunya harus dilindungi.
Keberadaan kereta api memberikan melahirkan kota-kota kolonial. Daerah yang ada awalnya hanya pemukiman yang sepi disulap oleh Belanda menjadi kota sehingga gairah pemerintahan, dan segala administrasi kolonial berlangsung di kota yang diciptakan oleh Belanda (Aulia Rahman).
Awal mulanya, Stasiun Pajakumbuh menjadi simpul perniagaan dan sarana transportasi hasil alam dari pedalaman Minangkabau (Padangsche Bovenlanden). Kemudian akan teruskan kota lainnya dan diekspor melalui Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Kota Payakumbuh ini terkenal sebagai penghasil ternak kuda yang paling penting, sentral pengepul kopi dan tembakau hingga hasil tambang emas dan perak.
Era Kependudukan Tentara Jepang, Stasiun Pajakumbun menjadi titik akhir alat angkut orang tahan dan pekerja paksa (romusa) yang akan dimobilisasi ke Bangkinang. Stasiun ini juga menjadi saksi bisu para tahanan perang dari Atjeh Camp, setelah berjalan kaki dari Aceh hingga Padang, para tahanan perang diberangkatkan menuju Pekanbaru melalui Stasiun Pajakumbuh (Sumatra Death Railway end Station Pakanbaroe 1943-1945).
Kemudian di setelah masa-masa kemerdekaan, jalur kereta ini masih tetap beroperasi hanya difokuskan untuk pengangkutan penumpang hingga akhirnya pensiun tahun 1973.
Kawasan Stasiun Pajakumbuh yang dulunya luas kemudian semakin menciut. Berada di jalan utama kota dan jalur lintas. Bangunan pendukung stasiun sudah hilang entah ke mana, jejaknya digantikan dengan bangunan baru.
Kemudian di setelah masa-masa kemerdekaan, jalur kereta ini masih tetap beroperasi hanya difokuskan untuk pengangkutan penumpang hingga akhirnya pensiun tahun 1973.
Kawasan Stasiun Pajakumbuh yang dulunya luas kemudian semakin menciut. Berada di jalan utama kota dan jalur lintas. Bangunan pendukung stasiun sudah hilang entah ke mana, jejaknya digantikan dengan bangunan baru.
Begitu juga dengan jalur keretanya sudah tidak terlihat. Saya tidak tahu persis pintu masuk menuju stasiun ini dari mana, apakah dari bangunan ruko sekarang atau jalan raya. Pereon dan tangki airnya pun sudah hilang.
Meski tidak ada lagi ciri khas yang menujukan stasiun, ada secuil bangunan yang masih bertahan. Hingga kini, bentuk Stasiun Pajakumbuh masih orisinil khas kolonial berdinding tebal dengan jendela dan pintu yang tinggi, atap genting dan umbin jadul berwarna kuning.
Tidak Stasiun Pajakumbuh saja, di daerah lain pun yang memiliki jalur kereta api kondisinya hampir serupa, sepi dan mati.
Perkembangan kota terkadang memberikan dampak bagi perubahan tata ruang. Hal ini pun terjadi di sekitar Stasiun Pajakumbuh. Area bangunan stasiun yang semakin minimalis terdesak oleh bangunan modern yang mengelilinginya.
Akhir Agustus 2020 ini terjadi perbincangan di kalangan pemerhati pusaka. Pasalnya, stasiun ini akan telah dibongkar dan akan dialihfungsikan. Pemberitaan di media massa pun telah ada. Di ranah media sosial sudah ramai dibincangkan. Terlebih bagi pencinta sejarah kereta api.
Semenjak mati suri, bangunan Stasiun Pajakumbuh ini seakan tidak terlihat ronanya dan telah banyak beralih fungsi hingga ada kabar tersiar akan direnovasi.
Stasiun Pajakumbuh ini masuk aset PT KAI Divisi Regional II Sumatera Barat yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta. Meski belum status cagar budaya Kota Payakumbuh, stasiun ini masuk inventaris cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat sejak 2007.
Stasiun Pajakumbuh ini masuk aset PT KAI Divisi Regional II Sumatera Barat yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta. Meski belum status cagar budaya Kota Payakumbuh, stasiun ini masuk inventaris cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat sejak 2007.
Tentunya, jikalau dilakukan perbaikan harus sesuai dengan kaidah konservasi yang melibatkan tim ahli cagar budaya dan sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya serta melibatkan instansi terkait lainnya.
Isu pengaktifan jalur kereta api di Ranah Minang menag sudah lama tersiar kabar. Jikalau terealisasi akan butuh proses yang lama dan kajian yang ekstra dalam. Mengingat kondisi jalur kereta saat ini sudah ada yang hilang, berubah fungsi jadi hunian dan jalan raya.
Terkait polemik Stasiun Pajakumbuh, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Payakumbuh dan BPCB Sumbar telah melakukan langkah koordinasi. Semoga ada angin segar terkait perkembangan stasiun ini.
Terkait polemik Stasiun Pajakumbuh, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Payakumbuh dan BPCB Sumbar telah melakukan langkah koordinasi. Semoga ada angin segar terkait perkembangan stasiun ini.
Hasil pertemuan tersebut menyepakati untuk melakukan observasi lapangan untuk identifikasi dan kajian dari kasus/polemik Stasiun Kereta Api Payakumbuh. Nantinya dari kajian tersebut akan disusun rkomendasi pelestarian cagar vudaya dan/atau objek diduga cagar budaya khususnya bangunan Stasiun Kereta Api Payakumbuh.
Selanjutnya masalah yang terkait dengan penetapan cagar budaya yang ada di Kota Payakumbuh, pihak BPCB Sumatera Barat setuju dan mendukung untuk mengawal ke depannya agar cagar budaya di Kota Payakumbuh punya status hukum/legalitas hukum yang jelas dan kuat.
Mengingat Stasiun Pajakumbuh ini memiliki sejarah yang penting bagi perkembangan kota dan transportasi perkeretaapaian di Minangkabau. Hal ini pun secara tidak langsung menunjang keberlangsungan narasi lama lahirnya Industri Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang telah ditetapkan sebagai world heritage.
Jangan sampai Stasiun Pajakumbuh ini seolah hanya menjadi perangkap untuk bernostagia hingga akhirnya lenyap menjadi kenangan. Jadi, sebenarnya apa apa dengan Stasiun Pajakumbuh?
———————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
Jangan sampai Stasiun Pajakumbuh ini seolah hanya menjadi perangkap untuk bernostagia hingga akhirnya lenyap menjadi kenangan. Jadi, sebenarnya apa apa dengan Stasiun Pajakumbuh?
———————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
saya baru tau ada stasiun payakumbuh.. jadi semakin ingin berkunjung ke tanah minang. makasih ceritanya ya, Kak
ReplyDeleteTosss samaan nih bang ubay, aku lagi explore sejarah stasiun stasiun peninggalan zaman Belanda di daerahku. Thanks untuk tulisannya
ReplyDeleteGak ada niat dihidupkan kembali ya?
ReplyDeleteSaya sedang menunggu jalur Bandung - Sukabumi bisa aktif lagi
Gak pernah lihat yang namanya stasiun euy..kapan yaa di Mataram ada stasiun juga hehehe~
ReplyDeleteAku jadi ingat kisah Bung Hatta pas masa studi, eh buku triloginya belum beres kubaca hihi. Selalu menarik ya Mas ikuti sejarah masa lalu, seolah menengok diri kita yang belum terbentuk. Beda Payakumbuh, beda stasiun di Pati Jateng. Aku kemarin baca di blog teman malah stasiun lama akan dihidupkan dengan tambahan rel baru. Luar biasa geliat industri KA karena memang jadi favorit banyak orang, termasuk saya. Kapan ya makan nasi kapau di Payakumbuh dan menyeruput kopi kawa?
ReplyDeletemau gak mau namanya perkembangan zaman ya gitu. mungkin biaya perawatannya lebih besar, sedangkan kalo dilelang kan nguntungin. padahal nilai history nya itu yg luar biasa. di jambi juga banyak peninggalan sejarah yg tersia-sia, tapi semoga stasiun ini "selamat" ya.
ReplyDeleteSedih yaa..
ReplyDeleteStasiun yang penuh dengan nilai history pada akhirnya diberangus oleh para penguasa.
Semoga anak-cucu nanti tetap bisa merasakan sejarah bangsa ini, bagaimana pahitnya dan menderitanya. Jangan sampai terulang kembali, menjadi negara yang tidak merdeka.
Jadi teringat dulu alm nenekku sering cerita ketika masa sekolahnya di Agam, beliau naik kereta api dari Payakumbuh. Padahal dulu aku pernah baca wacana pengaktifan kembali kereta api. Wacana itu terbit tahun 2015, katanya jalur KA PAdang-Riau akan dibuat dan selesai 2020, tetapi kenyataannya sekarang...
ReplyDeleteTambahan.ketika bangunan masih panjang dan utuh saya sering bermain ke lokasi ini.pintu masuk utama berada di pinggir jalan raya di bawah tulisan pajakoembuh,dan tanki air nya berada di belakang rm sederhana...maaf kalau boleh saya persentasekan saat itu bangunan stasiun utuh lebih kurang 95% dan bangunan yang tersisa saat ini hanya 3%.sebab pada saat itu documen documen di salah satu ruangan stasiun itu masih tersusun rapi di lemari besi.
ReplyDeleteKayanya tanah jalur rel sekitaran stasiun payakumbuh udah dijual ama pt kai,kan skrng udag jd ruko
ReplyDelete