Pariaman tadanga langang, Batabuik mangkonyo rami...
Cuplikan lirik lagu yang berjudul Pariaman ini akan semakin sering terdengar ketika akan memasuki perhelatan Hoyak Tabuik. Teaser video kegiatan tabuik akan ramai bermunculan di media sosial. Menyaksikan Hoyak Tabuik ini sangat seru dan terdapat sensasi tersendiri, terlebih ketika momen puncaknya membuang tabuik ke laut.
Bicara tabuik ini memang menarik dan akan melahirkan banyak persepsi terhadap tabuik dari sudut pandang para penilainya. Namun, terlepas dari itu semua, acara tabuik itu telah mengakar bagi masyarakat di Sumatra Westkus's (pesisir Pantai Barat Sumatra).
Narasi tabuik di Indonesia bermula dari tentara Inggris. Dalam berbagai catatan sejarah, kabarnya berasal dari Tamil India yang kali pertama melaksanakan ritual tabuik sekitar abad ke-17. Tabuik diselenggarakan setiap tahunnya dalam rangka memperingati hari Asyura, gugurnya imam Husain, cucu Nabi Muhammad Saw.
Kata tabuik berasal dari bahasa Arab Melayu yang artinya peti atau keranda yang dihiasi bunga-bunga dan kain berwarna-warni dan kemudian dibawa berarak-arak keliling kampung. Secara harfiah tabuik berarti peti atau keranda yang dihiasi bunga-bungaan dan dekorasi lain yang berwarna-warni dan kelengkapan lain yang menggambarkan buraq yaitu seekor kuda bersayap berkepala manusia.
Secara simbolik, tabuik menggambarkan kebesaran Allah SWT yang telah membawa terbang jenazah imam Husein ke langit dengan buraq sebagai medium orang yang meninggal secara mengenaskan saat terjadi perang di Karbala, Madinah.
Tabuik atau Taboet sekarang adalah upacara tradisional yang berhubungan dengan kepercayaan suatu masyarakat di pesisir Pantai Barat Sumatra. Dalam perjalanannya, tabuik pun secara tidak langsung menjadi warisan budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Tabuik mengandung unsur kepercayaan (religi), kearifan lokal dan nilai budaya masyarakat. Tradisi tabuik ini tercatat sudah diadakan sejak awal abad ke-19.
Tabuik ini tidak hanya dirayakan di Pariaman. Ada juga di daerah asalnya yaitu Bengkulu dikenal dengan nama Tabot. Terdokumentasi jika di Maulaboh, Singkil, Banda Aceh, Pidie, Barus, Natal, Fort de Kock (Bukittinggi), Solok, Manijau, Sicincin, Paianan, dan Padang juga pernah menyelenggarakan tradisi tabuik.
Dalam berbagai pemberitaan dan catatan yang ditulis oleh jurnalis semasa Hindia Belanda, kegiatan tabuik ini diselenggarakan di Padang, Pariaman dan Bengkulu. Surat kabar Deli Courant 12 Maret 1938 menuliskan perayaan hoyak tabuik di Suamtra Westkust. Judul yang diangkat Het Taboet-Feest dengan sub judul Specifiek Padangsch Feest.
Jurnalis Deli Courant menceritakan alkisah perayaan hoyak tabuik dan tahapan-tahapan prosesi pelaksanaan hoyak tabuik. Festival ini bertujuan untuk memperingati kematian Hasan Husain dan dirayakan selama sepuluh hari pertama bulan Muharam.
Menurut S. Bode, tabuik yang dibernama Taboet-Feest ini merupakan perayaan khas Padang. Meskipun dulunya dirayakan di tempat lain di Pantai Barat Sumatrra. Namun, kala itu hoyak tabuik hanya terbatas diadakan di Padang dan Pariaman.
Perayaan tabuik ini memang menarik sekali sampai surat kabar tempo itu pada tanggal 9 April 1936 memberitakan kegiatan pesta rakyat yang diduga ada perkelahian. Tidak tanggung-tanggung dalam hari yang sama ada 4 surat kabar menuliskan isi yang serupa seperti Algemeen Handelsblad (Volksfeesten Te Pariaman Geen vechtpartij van eenig belang.), De avondpost (De Volksfeesten te Pariaman Geen Vechtpartijen), Bredasche courant (De Volksfeesten te Pariaman Geen Vechtpartijen), Haagsche courant (De volksfeesten te Pariaman. Geen ernstige vechtpartijen).
Setelah dibaca dengan seksama ternyata menjelaskan Festival Taboot yang disebut Festival Hasan-Husain yang merupakan bagian dari pesta rakyat di Pariaman. Tabuik ini dirayakan ini selama sepuluh hari pertama bulan pertama tahun Muharam untuk memperingati kesyahidan Hasan dan Husain.
Awalnya dikabarkan terjadi perkelahian sengit antara warga dua kampung yang mengakibatkan banyak orang terluka. Ternyata tidak terjadi perkelahian ini merupakan bagian dari prosesi hoyak tabuik. Namun, ternyata terdapat masyarakat yang cidera saat mengiktui perayaan tabuik ini. Ada korban luka, hanya satu orang yang mengalami patah lengan saat melewati prosesi hoyak tabut itu.
Tabuik Padang
Tabuik sesungguhnya pernah dilaksanakan di Kota Padang ini. Tabuik di Padang selain budaya juga mencerminkan persatuan tanpa perbedaan di kota ini. Dalam catatan pemberitaan dan dokumentasi foto, tabuik di Padang pernah ada rentang tahun 1900-1940.
Kemudian rentang tahun 1970-1980 pernah dihelat kembali. Terdapat dokumentasi foto kala itu melewati Pasar Raya dan Balai Kota Lama. Selanjutnya hoyak tabuik pernah diselenggakan dalam rangkaian kegiatan Festival Alek Nagari oleh Pokdariwis Berok Nipah tahun 2023.
Perhelatan hoyak tabuik di Padang memang pernah ada dan diceritakan dalam berbagai laporan perjalanan oleh jurnalis Hindian Belanda. Tidak ada literatur yang menuliskan kapan mulanya tabuik ini arak. Minim sekali literasi.
Kabarnya, hoyak tabuik pertama kali dihelat di Kampung Berok Nipah melintasi rute-rute tertentu. Tabuik di Padang ini dikenal dengan nama Tabuik CinKaMal alias Tabuik Cino Kaliang Malayu. Memang pembuatan tabuik saat itu di dominasi oleh orang Kaliang (keling/India) di Kampuang Dobi dan diangkat oleh orang cina dari HTT Padang.
Tabuik Pariaman dengan Tabuik Padang tidak sama. Di Pariaman tabuiknya besar, terdiri dari Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Sedangkan di Padang, tabuik lebih kecil, terdiri dari Tabuik Puruih yang dibuat oleh orang Keling (India) dan Tabuik Balakang Tangsi. Ketika tabuik ini akan dihoyak hanya berkeliling kota saja tidak ada dibuang ke sungai atau laut seperti di Pariaman.
Tabuik Fort de Kock
Tabuik ternyata tidak dihelat di pesisir pantai saja tapi di pedalaman Minangkabau pun pernah diadakan. Pada tahun 1888, perayaan hoyak tabuik ini juga tercatat berlangsung di Fort de Kock sekarang Bukittinggi.
Ketika itu, Bukittinggi didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 sebagai benteng pertahanan dan pusat administrasi. Bukittinggi pun berkembang menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan di wilayah pedalaman Sumatera Barat. Bukittinggi pun menjadi saksi berbagai perayaan budaya lokal, termasuk hoyak tabuik.
Hoyak tabuik di Bukittinggi memiliki beberapa catatan sejarah yang menunjukkan ada akulturasi budaya yang diadaptasi dari masyarakat pesisir pantai. Hanya saja, tidak ada catatan mengenai prosesi tabuik dan apakah perkelatannya itu rutin setiap tahun.
Hoyak tabuik di Bukittinggi ini versinya apa serupa dengan di Pariaman atau mungkin seperti di Padang yang diarak-arak keliling kota saja. Setidaknya dokumentasi foto lawas ini menjadi memori kolektif masyarakat Bukittinggi akan perayaan hoyak tabuik.
Tabuik Solok
Meski perayaan tabuik lebih dikenal di Pariaman, Solok juga memiliki sejarah dan cara unik dalam merayakan hoyak tabuik. Tradisi ini secara tidak langsung mencerminkan keanekaragaman budaya dan warisan sejarah yang kaya di Sumatra Barat.
Dari repro foto lawas yang dipublikasikan oleh Nationaal Museum van Wereldculturen dengan rentang kegiatan acara tahun 1910-1920 ini dapat dilihat ada kepala arak yang mengomandoi perhelatan tabuik ini. Di belakangnya ada sekelompok orang yang membawa alat kesenian khas pendamping perayaan tabuik. Tidak lupa juga ada sejumlah anak-anak yang terlibat dalam kegiatan itu.
Sementara bentuk tabaiknya lumayan tinggi dengan bentuk yang cukup lengkap ornamen-ornamennya. Bentuk kepala manuasi dan badangnya yang menyerupai buroq itu terlihat jelas. Ada dua tabuk yang terfoto dalam dokumentasi lawas ini.
Seperti halnya di Bukittinggi, Hoyak Tabuik di Solok ini tidak ada narasi yang menjelaskan prosesinya seperti apa hingga puncak perayaannya tabuik ini akan dibawa ke mana. Lokasi tempat pembuangan apakah ke sungai atau danau. Atau hanya dirayakan begitu saja tanpa ada membuang tabuik ke air.
Tabuik Pariaman
Kota Pariaman menjadikan Tabuik ini sebagai warisan budayanya dan Tabuik ini telah diselenggarakan sejak tahun 1831. Tradisi Tabuik yang disebut dengan nama Batabuik ini menjadi agenda tahunan masyarakat Pariaman yang dihelat setiap tanggal 1-10 Muharam.
Bagi masyarakat Pariaman, tabuik itu merupakan sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat Husein Bin Ali yang terbuat dari bambu, kayu rotan yang dihiasi bunga-bunga salapan. Pada bagian bawah tabuik terdapat seekor kuda bersayap berkepala manusia yang disebut buroq dan pada bagian atasnya terdapat satu tangkai bunga salapan yang disebut sebagai puncak tabuik.
Prosesi budaya Tabuik ini merupakan ritual adat yang terdapat 7 tahapannya, mulai dari prosesi mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut yang menjadi atraksi yang ditonton oleh banyak masyarakat.
Tabuik dalam perkembanganannya manjadi identitas dan daya tarik wisata budaya di Kota Pariaman yang dikemas menjadi sebuah perhelatan yang bernama "Hoyak Tabuik". Jika zaman kolonial dikenal dengan nama De Volksfeesten te Pariaman (Festival Rakyat).
Hoyak Tabuik ini berkembang dari acara adat menjadi iven wisata budaya berbentuk festival yang diisi dengan berbagai macam kegiatan seni budaya anak nagari. Kerennya, Pesona Hoyak Tabuik Piaman ini telah masuk dalam top 110 Karisma Event Nusantar (KEN) tahun 2024 oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Hoyak Tabuik dipusatkan di Pantai Gandoria yang merupakan destinasi unggul di Kota Pariaman yang selalu ramai dikunjungi wisatawan. Terutama saat puncak acara ketika Tabuik dibuang ke laut, saat petang jelang azan Magrib tiba.
***
Hoyak Tabuik merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang kaya dan bermakna berlangsung tidak hanya di pesisir tapi merasuk hingga ke pedalaman Minangkabau. prosesi dan pemakanaan Hoyak Tabuik di tiap tempat memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang patut dihargai dan dilestarikan.
———————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
3 tahun tinggal di bukittinggi, dan aku belom pernah sekalipun berpartisipasi nonton tradisi hoyak tabuik ini.
ReplyDeleteKemana saja aku selama ini 😩
Saya tahu Tabot karena suami pernah lama tinggal di Bengkulu. Sayangnya pada saat kami berkunjung ke sana pas sudah lewat eventnya. Ternyata ada juga di Sumbar, Hoyak Tabuik namanya. Senangnya gelaran seperti ini bisa jadi festival budaya yang dengan keunikannya patut dihargai dan dilestarikan.
ReplyDeleteTerima kasih sudah membagikan sejarah hoyak tabuik Kak
Kalau membaca sejarah dan budaya, saya suka terharu sendiri. Entah kenapa. Serasa time travel, bahwa waktu begitu cepat berlalu.
ReplyDeleteDunia benar-benar silih berganti generasi.
Menarik ya ... perayaan tabuik ternyata tidak hanya di Sumatera Barat. Walaupun terdengar mirip namun ternyata tidak sama persis pula ya. Dan ada juga di bagian lain Sumatera.
ReplyDeleteaku baru tahu tradisi Hoyak Tabuik, menarik banget sampai masuk daftar 110 KEN 2024. Semoga, tradisi ini makin lestari, ya. Aku jd membayangkan saat Tabuik dibuang ke laut
ReplyDeleteKeren bang dokumentasinya. Hoyak tabuik jadinya diketahui bukan hanya di pariaman. Tapi juga ada di solok. Btw di tempat lain juga ada ya bang, kayak di bengkulu sampe ke aceh.
ReplyDeleteLuar biasa ini. Artikelnya mantul banget
ReplyDeleteSaya jadi nambah info dan wawasan
Begitu bermakna ya Tabuik ini. Secara diakui atau tidak ternyata mengandung unsur kepercayaan juga di dalamnya.
Hingga jadi sebuah kearifan lokal dan nilai budaya masyarakat di Sumatra semoga tradisi tabuik yang sudah diadakan sejak awal abad ke-19 ini semakin membawa manfaat dan kebaikan
Keren tradisi Tabuik ini ternyata sudah ada sejak tempo dulu ya, bahkan dokumentasinya masih ada. Tradisi yang seperti ini sebaiknya terus dilestarikan agar lebih dikenal oleh wisatawan khususnya dari luar negeri
ReplyDeleteAku baru tahu ada tradisi Hoyak Tabuik. Tradisi yang terus menjadi turun temurun, karena berkaitan dengan kepercayaan dan budaya juga ya. Jadi pengin lihat langsung acara Tabuik ini.
ReplyDelete