Setelah sekian lama tidak jalan-jalan. Akhirnya berkesempatan untuk kembali menyambangi Koto Gadang. Sebuah desa di Ranah Minang yang dikenal dengan masyarakatnya suka memproduksi fashion etnik yang karyanya telah mendunia.
Dari Bukititnggi itu tidak lebih dari 10 menit akan sampai ke Koto Gadang, sangat dekat sekali. Dapat di tempuh via Ngarai Sianok. Keindahan lembah ini akan menemani selama perjalanan menuju nagari Koto Gadang ini.
Bagi saya, Koto Gadang itu memang menarik sekali. Sepintas jika berkunjung tampak tidak ada kehidupan. Sepi, tenang dan menawan hal yang bisa saya gambarkan mengenai Nagari Koto Gadang ini. Koto Gadang memiliki kekayaan budaya, sejarah, dan alam yang menjadikannya destinasi menarik untuk dijelajahi.
Betapa tidak, sebagian besar penduduk asli Koto Gadang ini banyak yang merantau dan menetap di luar nagari ini. Sekian persen saja yang bener-bener penduduk asli. Selebihnya masyarakat pendatang atau sanak saudara yang diberi kepercayaan untuk tinggal di rumahnya.
Tujuan saya ke Koto Gadang untuk berjumpa dengan bang Julian. Setelah semalam itu, kami bertemu saat kegiatan Seminar Nasional Pariwisata Syariah yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Pariwisata Syariah UIN Bukittinggi. Saya sudah lama berkenalan dengan abang ini tapi secara online saja melalui Instagram dan pesan WhatsApp, sedangkan berinteraksi langung belum pernah.
Main ke Kagè Koto Gadang
Sebelum pulang ke Padang, saya akan memutuskan untuk singgah terlebih dahulu ke Kagè di Koto Gadang. Ketika saya posting di stories Instragam ada yang bertanya Kagè itu apa sih?
Hmmm, sebetulnya agak binggung juga menjawabnya. Sederhannya Kagè itu adalah singkatan huruf K dan G yang diambil dari nama Koto Gadang. Uniknya penggunaan kata è ini sengaja agar bagi para bule menyebutnya enak sesuai dengan pelafalan dalam bahasa Inggris. Coba deh baca hahaha
Itu secara filosofinya, tapi Kagè ini adalah sebuahah rumah yang salah satu bagiannya menjadi ruang interkasi dan kreatif. Sebut saja Rumah Kagè. Rumah ini menjadi bentuk dari place making berbasis kearifan lokal di pedesaaan. Rumah Kagè ini dengan ciri berarsitektur hunian Indis berwarna putih hijau dengan usia yang lebih dari seratus tahun.
Sebenernya saya tidak tahu lokasi persis Rumah Kagè ini dimana. Tapi point pentingnya diberada di jalan utama menuju desa yang lurus itu dan nantinya akan tembus ke simpang Galudua, Nagari Koto Tuo yang terdampak oleh banjir bandang pada 11 Mei 2024 lalu.
Nagari Koto Gadang ini secara adminsitratif berada di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat. Berhawa sejuk berada di antara Ngarai Sianok dan kaki gunung Gunung Singgalang dengan ketinggian tidak samapai seribu mdpl.
Sesampainya di Kagè, saya mencoba mengubungi bang Julian, tapi telepon saya tidak diangkat-angkatnya. Ternyata dia sedang menyapu halaman rumahnya dan saya pun berteriak kepadanya. Saya meletakan kendaraan di halaman depan bangunan berwarna hijau yang bertuliskan Kagè.
Dalam hati saya, anjay sebagus itu Rumah Kagè ini. Lokasinya sih sangat strategis tidak berada dalam kawasan pemukiman dan berada di jalan lurus pintu masuk desa. Akses jalannya pun enak mau kemana-mana dekat dan mudah.
Saya dipersilahkan masuk ke Rumah Kagè itu ada beragam atribut dan barang-barang jadul yang kata anak Gen Z sekarang estetik dan instagrammble sekali. Ada pajangan foto jadul, lukisan, perabot. Ada juga barang-barang hasil kerajinan perak yang bisa dilihat dan dibeli.
Memasuki area belakang, saya pun terkagum-kagum melihat suasana alam yang mempesona dengan hamparan sawah yang hijau, gunung Singgalang dan gunung Marapi yang menyapa begitu gagahnya. Lingkungan sekitar Kagè ini asli cocok banget untuk healing.
Tenang saja di Kagè pun tersedia homestay. Pengunjung tidak perlu bingung untuk cari penginapan lagi. Kagè sudah bisa memfasilitasi kebutuhan para pelancong.
Di bagian belakang rumah ini ada ruang terbuka dengan meja panjang yang bisa menjadi tempat untuk bersantai, bercerita dan menikmati suasana alam. Tak lama, bang Julian pun tiba diikuti dengan istrinya yang membawakan lontong.
Kami pun banyak bercerita mengenai berbagai hal dan sharing pengalaman. Selang beberapa waktu, ada dua rekan lainya yang tiba. Mereka ini baru diberdayakan untuk menjadi bagian dalam pengembangan Koto Gadang kedepannya. Dalam pertemuan ini, kami pun bersepakat untuk berkolaborasi antara Padang dan Koto Gadang, eaaa
Tahu nggak, ternyata bang Julian keluarganya ini baru menetap di Koto Gadang. Dia itu asli orang Koto Gadang yang telah lama merantau di Jakarta. Dia menjadi penggerak untuk kepariwisataan di Koto Gadang. Mambangki batang tarandam begitu istilahnya.
Bang Julian menjadi sosok local champion yang membangun pariwisata di Koto Gadang. Tantangan dan hambatan sudah pasti akan terjadi, tapi ada kekuatan dan peluang yang menjadi spirit-nya. Dalam kurun waktu yang sebenarnya singkat saja, Koto Gadang masuk 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) di tahun 2024, sebuah ajang bergengsi kepariwisataan di Indonesia.
Upayanya dalam memberdayakan masyarakat memang tidak main-main. Sudah berdarah-darah dia memberikan pemahaman dan kepercayaan kepada seluruh pemangku kepentingan di Koto Gadang, terutama masyarakat yang ada di rantau.
Jadi ingat apa kata Mtek Zuhlizul, kalau membangun pariwisata di desa itu akan banyak cobaannya. Masyarakat akan selalu cimeeh kepada kita, fitnah sana sini tidak akan terhindari dalam setiap berkegiatan. Jikalau pun sukses akan ada saja pahlawan kesiangan yang mengaku-ngakau.
Bagaimanapun juga bicara pariwisata tidak lepas dari dukungan, pendanaan dan keberlanjutan. Ketiga komponen ini harus menjadi perhatian bersama. Dukungan seluruh kalangan terutama masyarakat dan pemerintah itu sangat penting.
Tidak hanya itu saja, pendanaan juga menjadi hal yang tidak boleh dinaifkan. Kalau mau bergerak pasti membutuhkan dana, tapi jika sudah konsisten berkegiatan, apapun bantuannya itu akan datang dengan sendirinya. Validasi public itu sangat penting dalam ber-community,
Point penting lainnya adalah keberlanjutan. Ini terkait dengan sumber daya yang dimiliki, bagaimana pengelola itu bisa konsisten dan orang-orang yang ada didalamnya itu dijaga semangat pergerakannya. Pembahasannya cukup berat juga ya hahaha.
Mengulik Sedikit Nagari Koto Gadang
Minangkabausch huis te Koto Gadang. Sumatra, Fotograaf Jean Demmeni Vervaardiging N.V. de Tulp, Haarlem tahun 1911 |
Ada hal yang menarik yang ingin saya sampaikan mengenai Nagari Koto Gadang ini. Pernah dengar selendang Koto Gadang? atau gulai itik lado hijau Koto Gadang? Nah, itu salah satu ikon yang ketika mendengar nama Koto Gadang langsung tertuju pada fashion dan kuliner itu.
Secara yaah, masyarakat Koto Gadang itu piawai membuat kerajinan tangan dan kuliner. Sebut saja, untuk para prianya itu mahir membuat kerajinan perak sedangkan para wanitanya mahir menyulam, membuat selendang, dan menenun.
Karya kerajinan perak Koto Gadang juga memiliki ketelitian dan keunikan tersendiri dengan kualitas yang sudah teruji. Kerajinan perak Koto Gadang banyak dicari sebagai suvenir atau koleksi. Rumah Keradjinan Amai Setia menjadi salah satu lokasi populer yang bisa dikunjungi.
Untuk kulinernya Koto Gadang termasuk daerah yang memiliki menu masakan yang ikonik terkenalnya sudah pasti gulai itik lado hijau Koto Gadang. Kalau mencari menu sarapan pun ada namanya Lontong Tungkuih Daun.
Tidak hanya itu, ada Kue Taruok atau Kue Ruwok yang tidak banyak orang tahu. Kata Ruwok ini berarti berbusa yang berasal dari buih hasil kocokan putih telur hingga tinggi berbusa sebagai lapisan atas kue. Kue Ruwok ini kaya akan telur dan susu. Kue yang dikenal dengan nama taart susu khas Koto Gadang ini memiliki tekstur yang lembut dan enak dimakan saat dingin.
Fun fact-nya, Koto Gadang ini menjadi salah satu wilayah di Minangkabau yang paling pertama kali mendapatkan akses pendidikan barat sejak pertengahan abad ke-19. Sejak itu pula Koto Gadang telah banyak melahirkan para cendikiauwan Minangkabau yang kesohor dan berpengaruh pada zamannya.
Penduduknya ini banyak menjadi birokrat, pendidik, dan professional di bidangnya masing-masing. Sebut saja terkenal, Perdana Menteri pertama Sutan Syahrir, politisi legendaris dan Menteri Luar Negeri pertama H. Agus Salim. Tokoh pejuang hak-hak wanita dan wartawan wanita pertama di Indonesia Roehana Kuddus dan masih banyak tokoh lainnya.
Saking terkenalnya, Koto Gadang dikenal sebagai desa perantau, gudang para intelektual dan nagari seribu dokter.
Menariknya, memasuki Nagari Koto Gadang, kesan kolonial begitu terasa sekali. Suasana ini menjadi hal yang sangat saya sukai. Bisa dilihat saja dari arsitektur bangun rumahnya. Beda dengan perkampungan di Minangkabau lainnya yang dominan dengan adanya rumah gadang, tapi di Koto Gadang itu bisa dihitung jari jumlah rumah gadangnya.
Bangunan bergaya arsitektur Indis sangat mendominasi dan menjadi ciri khas dari perkampungan di Koto Gadang. Pengaruh gaya bangunan kolonial sangat kuat yang diadaptasikan dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan ada Masjid Tapi Nurul Iman Koto Gadang yang desainnya sangat estetik. Ini menjadi daya tarik kunjungan.
Keindahan alam Koto Gadang pun bak permata yang indah. Hamparan pesawahan dengan latar gunung Singgalang dan Marapi akan dijumpai. Koto Gadang dikeliling lembah yang curam dengan dinding menawan, pesona Ngarai Sianok ini sangat mengagumkan. Ada juga Puncak Taruko yang menyuguhkan pesona Tabiang Takuruang yang sangat viral betebaran dokumentasinya di media sosial.
Ada juga objek wisata yang sudah mulai terlupakan, namanya Janjang Koto Gadang. Janjang ini menjadi sarana pengubung masyarakat Koto Gadang dengan Ngarai Sianok dan Kota Bukittinggi. Itu dulu, sekarang tidak banyak masyarakat yang melaluinya, kecuali untuk olahraga dan berwisata.
Jalur Janjang Koto Gadang ini menawarkan pemandangan Ngari Sianok yang menakjubkan dan menjadi favorit bagi wisatawan yang ingin hiking sambil menikmati keindahan alam.
Kagè dan Ruang Aktivasi Community Base Tourism
Sejatinya, Koto Gadang itu memiliki reputasi baik dalam bidang kepariwisataan. Meski bukan daerah tujuan wisata populer di Sumatra Barat, Koto Gadang memberikan kesan sendiri bagi wisatawan. Koto Gadang menjadi salah satu iteneri bagi agen tour mancanegara, terutama asal Malaysia.
Tujuannya mereka berkunjung melihat dan shopping pakaian, selendang, dan kerajinan perak di Rumah Kerjadijan Amai Setia. Kadang pengunjung pun singgah ke simpang empat yang ada bangunan Balai Adat Koto Gadang dan Masjid Koto Gadang untuk sekedar berfoto-foto dan beribadah.
Koto Gadang itu desa wisata sesungguhnya yang semua elemen didalamnya itu menjadi daya tariknya. Akivitas masyarakatnya itu menjadikan Koto Gadang terus tumbuh dan memikat para pelancong setianya.
Saya pun tidak pernah bosan untuk mengunjunginnya, seperti jika main ke Kota Tua Padang, Pariangan, Bukittinggi dan Sawahlunto. Jika membawa tamu atau ada rekan teman sejawat yang ingin berwisata ke Sumatra Barat, saya akan merekomendasikan dan memasukan nama Koto Gadang sebagai itenerinya.
Dalam perkembangannya wajah Koto Gadang telah mengalami penyesuaian terhadap perkembangan kepariwisataan. Tren aktivasi nagari menjadi desa wisata agaknya mulai memberikan dampak secara tidak langsung bagi nagari-nagari yang ini membuka diri dalam mengembangkan potensi wisatanya. Memang, tidak semua desa juga harus jadi desa wisata dan tidak semua tempat harus diubah menjadi objek wisata. Noted!
Seperti yang saya ceritakan diawal, Kagè lahir secara tidak langsung menjadi bagian konektor kehidupan masyarakat Koto Gadang. Umur Kagè itu masih baru, tapi sudah memberikan inovasi dan aktivitas ruang publik yang mendukung penerapan pariwisata berbasis masyarakat (Community Base Tourism).
Aktivitas Kagè yang tampak dengan kegiatan Koto Gadang Heritage Walk dan semuanya sudah dipublish diakun Instagramnya @kage_sumbar. Heritage walk ini sebagai sarana aktivasi dan upaya dalam memperkenalkan daya tarik wisata di Koto Gadang.
Saya sendiri sangat senang ketika ada program serupa dengan kegiatan Padang Heritage Walk. Aktivasi ini saya coba rintis melalui Komunitas Padang Heritage di Kawasan Kota Tua Padang. Alhamdulillah, saya bersama teman-teman lainnya menggeliat untuk membuat kegiatan edukasi dan pelestarian melalui Padang Heritage Walk.
Saya pun ingin menularkan walking tourism ini ke setiap kota atau desa agar ada program serupa dengan kearifan lokal masing-masingnya. Saat ini sudah ada di Bukitinggi dan di Nagari Pariangan.
Sejatinya, kegiatan walking tourism ini menjadi bagian kecil dan berdampak sangat langsung dalam membangun pariwisata berkelanjutan. Para wisatawan akan mendapatkan pengalaman, pembelajaran, dan eksistensi konten dari kearifan lokal di destinasi atau desa wisata. Hal ini sejalan dengan konsep storynomic tourism yang sering saya sampaikan dalam berbagai materi pelatihan kepariwisataan.
Saya pun menilai, Kagè ini dibangun dengan semangat untuk membangun nagari. Rumah Kagè diupayakan menjadi pusat interaksi dan kolaborasi bagi masyarakat lokal, wisatawan, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Koto Gadang.
Tentunya, harapannya dengan adanya Rumah Kagè ini bisa mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bisa membuka peluang ekonomi baru melalui inovasi kerajinan tangan, kuliner, atraksi paket wisata dan jasa pemandu wisata dengan tetap mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan.
Sepertinya bicara pariwisata itu tidak akan ada habisnya. Berhubung langit sudah mulai gelap, saya pun memutuskan untuk pamit pulang ke Padang. Ada misi lain yang ini saya lakukan di Koto Gadang ini yaitu seolah-olah menjadi turis untuk menikmati aktivitas Koto Gadang Heritage Walk dan bermalam di hunian Indis Koto Gadang.
Berkunjung ke Rumah Kagè akan menawarkan pengalaman wisata yang tak terlupakan. Nuansa pedesaan khas kolonial akan melekat. Ada jejak pergerakan tokoh nasional yang turut menyertainya, menjadi wisata edukasi untuk menambah wawasan kebangsaan, berbalut budaya lokal yang masih senantiasa mengakar di masyarakat.
Kagè Koto Gadang adalah contoh aktivasi gerakan membangun nagari dalam memberdayaakan masyarakat untuk menjaga warisan budaya sembari tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keunikan dan kekayaan yang dimiliki, membuat Koto Gadang menjadi destinasi wisata yang wajib untuk dikunjungi.
————————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.
kampung ku tercinta ..kota gadang 🫶🫶🫶
ReplyDeleteIndah sekali warisan budaya Kage Koto Gadang ini. Tempat yang wajib banget dilestarikan, dan benar sekali, perjuangannya untuk melestarikannya pasti butuh perjuangan. hebat dan salut buat mereka yang peduli dan action.
ReplyDeleteKeren bang. Meski Kage masih baru berdiri tapi mendukung penerapan pariwisata berbasis masyarakat (Community Base Tourism) di Koto Gadang dan sekitarnya.
ReplyDeletePengen banget rasanya merasakan suasana Kage secara langsung karena suasananya tampak nyaman banget ya bang.
Rumah Kage mengingatkan saya ke rumah nenek buyut
ReplyDeleteDulu ada beberapa perabot lama yang mirip gitu. Tapi sekarang sudah entah ke mana. Mungkin cucunya alias sepupu ibu saya udah pada ngambil, gak tahu pasti juga.
Yg pasti rumah jaman dulu itu beneran punya ciri khas tersendiri ya
Berkunjung ke Rumah Kage ini lengkap ya yang dialami. Pemandangan, sejarah, barang² unik vintage, makanan, kerajinan pun ada. Layak banget jadi tujuan wisata.
ReplyDeleteRumah Kage estetik banget, Ka. Jadi pengin ke Koto Gadang, apalagi suasananya gak ramai. Cocok si ini kalau mau liburan di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kebisingan kendaran.
ReplyDeleteMain ke bukittinggi dan sekitarnya memamg tidak pernah mengecewakan ya.
ReplyDeleteRumah kage sendiri estetik sekali.
Apalagi lontong padang. Rindu sekali sayah.